"Jadilah pemimpi yang mendunia, yang masih menapakkan kaki di bumi"
"Batas antara MIMPI dan GILA adalah tali kekang kesadaran"

Minggu, 10 Januari 2010

Benarkah Tuhan Marah Pada Manusia??

Pernahkah kita sebagai manusia berpikir atas apa yang telah terjadi akhir-akhir ini di negara yang kita pijak ini, Indonesia tercinta? Bencana demi bencana terjadi secara beruntun seperti petasan yang tidak pernah berhenti meledak. Mulai dari meledaknya bom di Bali, tragedi tsunami di Aceh dan Pangandaran, gempa di Yogyakarta, banjir lumpur di Lapindo dan yang saat ini masih terngiang di telinga kita yaitu banyak terjadinya kecelakaan, baik di darat, laut dan udara. Adam Air yang menghilang entah kemana. Garuda yang terbakar. Bahkan kapal laut pun terbakar.

Pernahkah kita berpikir ada apa di balik semua ini? Puluhan bahkan ratusan nyawa manusia dengan begitu mudah diambil oleh-Nya. Sidoarjo yang begitu hijau dan udaranya segar, dengan mudahnya Dia ubah menjadi lautan lumpur. Begitu juga sebaliknya, Lapindo yang asalnya bisa meraup keuntungan besar, dengan mudahnya Dia ubah menjadi perusahaan yang selalu jadi objek berita demo oleh masyarakat untuk diminta penggantian. Ya, dengan mudahnya Dia mengubah semua ini.


“Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia.”

(QS. Al-Mukmin : 68)

Pantaskah kita sebagai manusia sombong dan membangga-banggakan diri? Dia Maha Kuasa atas diri kita. Marilah kita bercermin bersama-sama! Apa yang sudah kita lakukan? Diberi sedikit saja kekuasan, kita merasa bangga dan menganggap orang lain rendah. Diberi sedikit saja kepintaran, kita merasa bangga dan menganggap orang lain bodoh. Diberi sedikit saja kekuatan, kita menindas yang lemah. Diberi sedikit saja kekayaan, kita merasa bangga dan tidak mau berbagi dengan orang lain.

Padahal, dengan begitu mudah bagi Allah mengambil semuanya. Orang pintar, orang kuat, orang kaya tidak ada artinya di hadapan Allah, kalau kepintaran, kekuatan dan kekayaannya itu tidak digunakan di jalan-Nya. Telah nyata di hadapan kita, bagaimana bencana-bencana yang terjadi itu bisa menelan banyak korban tanpa memandang bulu. Kita sebagai manusia sama, yang membedakan hanyalah tingkat keimanan dan ketakwaan. Masihkah kita berbangga hati dan sombong?


“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”

(QS. Al Hadid : 20)

Banyak orang yang mengklaim bahwa bencana yang terjadi saat ini adalah karena Allah swt Marah karena manusia sudah benar-benar jauh dari-Nya. Betapa tidak, kemaksiatan semakin marak. Korupsi sudah menjadi seni di kalangan penguasa. Berita kriminal sudah semakin menumpuk sehingga di TV sudah dijadikan berita terpisah, RCTI dengan Sergap-nya, SCTV dengan Buser-nya. Dengan alasan himpitan ekonomi, manusia menghalalkan segala cara. Mencuri dan membunuh rupanya sudah jadi hal biasa. Demi memuaskan nafsu, manusia menghalalkan pemerkosaan bahkan sodomi.

Yang menjadi pertanyaan, benarkah Allah Marah pada manusia? Mararh atas apa? Atas semua kelalaian manusia? Lalu, dimanakah makna Ar Rahman Ar Rahim, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang? Ya, bukankah Dia-lah Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Dia tidak butuh manusia. Sekalipun seluruh manusia tidak beriman kepada-Nya, Allah tidak akan pernah rugi menciptakan kenikmatan surga.


“...Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan (Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini).”

(QS. Muhammad : 38)

Memang benar di surat Adz Dzariyat ayat 56, Allah menerangkan bahwa Dia menciptakan manusia untuk beribadah, tapi Allah tidak haus dengan sembahan atau pengabdian manusia, hal ini diterangkan pada ayat setelahnya.


“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.”

(Qs. Adz Dzariyat : 56-58)

Adapun kita beriman dan mengabdi pada-Nya, itu hanya untuk keselamatan kita.


“Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”

(QS. Al Israa:15)

Jadi, masih pantaskah kita mengira kalau Allah Marah pada manusia? Tidak, Allah Tidak Pernah Marah pada manusia. Sekali lagi, secara tegas, sepatutnya kita mengatakan bahwa ALLAH TIDAK PERNAH MARAH PADA MANUSIA. Semua musibah, apapun itu bentuknya, adalah bentuk kasih sayang Allah pada manusia agar manusia kembali ke jalan-Nya. Tentunya, manusia yang mau kembali ke jalan-Nya adalah manusia-manusia yang mau berpikir.


“Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”

(QS : Al Baqarah : 269)

Tak sepatutnya kita berburuk sangka pada Allah. Be A Positive Thinking. Selama dengan positive thinking itu dapat menambah keimanan dan ketaqwaan kita pada-Nya. Akan tetapi, kita juga jangan terlena dengan anggapan semua bentuk kasih sayang Allah. Jika dengan menganggap bahwa semua itu adalah murka dari Allah kepada manusia, justru dapat menambah ketaatan kita pada-Nya, maka teruskanlah pikiran seperti itu. Anggaplah itu peringatan.

Satu benang merah yang menghubungkan dua pemikiran itu adalah bahwa Allah tidak pernah butuh manusia. Allah tidak butuh sembahan manusia. Itulah hubungan yang paling sulit diantara semua hubungan. Analoginya, kalo hubungan kita dengan atasan, sangat mudah bagi kita untuk mendapatkan perhatian dan simpati dari atasan. Kita cukup bekerja dengan baik dan menunjukkan loyalitas kerja kita. Secara otomatis, atasan kita pun akan memberikan nilai A, karena hasil kerja kita. Disadari atau tidak, hubungan yang terjalin antara atasan-bawahan pasti dilandasi dengan rasa saling membutuhkan. Itulah yang menimbulkan adanya toleransi.

Sementara hubungan kita dengan Allah adalah hubungan Pencipta dan Yang Diciptakan. Pencipta menciptakan sesuatu pasti ada tujuannya.


“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”

(QS. Al Mukminun : 115)


Apapun yang diciptakan tidak akan berguna apabila tidak sesuai dengan tujuan penciptaannya. Inilah initi dari semuanya. Kallah tidak pernah butuh manusia, Kita lah sebagai manusia yang harusnya berpikir apakah hidup kita berguna atau tidak? Apakah sudah sesuai dengan tujuan penciptaan kita? Karena sesuatu yang tidak berguna pasti akan dibuang jauh-jauh.

Analogi sederhananya, kita membuat toilet pasti ada tujuannya, yaitu untuk menampung kotoran manusia. Jika toilet itu, tidak sesuai dengan tujuan penciptaannya, maka tidak akan disebut toilet. Oleh karena itu, toilet rela diduduki orang setiap harinya untuk buang air besar atau buang air kecil agar sesuai dengan tujuan penciptaanya. Sebagai penghargaan kesesuaian itu, maka toilet ditempatkan di WC. Beda cerita lagi dengan toilet yang tidak bisa berfunsi sesuai tujuan penciptaannya, pasti akan dibuang oleh pemiliknya.

Kiranya, analogi di atas dapat menggambarkan hubungan kita dan Sang Kholiq. Selagi nafas ini berhembus, selagi mata masih bisa melihat keagungan-Nya, selagi mulut masih bisa menyebut asma-Nya, selagi telinga masih bisa mendengar ayat-ayat-Nya marilah kita mencoba bermuhasabah tentang diri kita. Tidak cukup jelaskah bentuk peringatan dari Allah sebagai kasih sayangnya agar kita mau berpikir dan kembali pada jalan-Nya.

Dengan mudahnya Allah mengambil ribuan nyawa saudara-saudara kita dengan berbagai musibah. Pernahkah kita berpikir kapan giliran kita untuk dipanggil? Bekal apa yang sudah kita bawa? Sudahkah hidup ini sesuai dengan tujuan penciptaan-Nya? Kalau belum, pantaskah kita mendapatkan tempat pengembalian yang layak? Musibah yang terjadi hendaklah bisa menggerakanotak dan nurani kita untuk mau berpikir. Jangan sampai kita menyesal di saat penyesalan itu tiada artinya sama sekali.


“Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang shaleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan". Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? maka rasakanlah (adzab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang dzalim seorang penolongpun. "

(QS. Faathir : 37)


Mati adalah sesuatu yang pasti. Musibah yang terjadi hendaknya menjadi cambuk agar kita mau berubah menjadi insan-insan yang berkualitas tinggi, yang mampu membebaskan kemelut bangsa ini menuju ke dalam pencerahan yang hakiki demi bekal di hari pertanggungjawaban nanti. Dimana setiap orang datang sendiri-sendiri untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya, sebagaimana dia waktu dilahirkan dalam keadaaan sendiri-sendiri. (el...)


“Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami kurniakan kepadamu.....”

(QS Al An’am : 94)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar