"Jadilah pemimpi yang mendunia, yang masih menapakkan kaki di bumi"
"Batas antara MIMPI dan GILA adalah tali kekang kesadaran"

Minggu, 10 Januari 2010

Siapakah Ibrahim dan Ismail saat ini...?!?

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)”
(Q. S. Al-Hajj : 34)


Idul Adha disebut juga sebagai Idul Kurban, karena kurban dilaksanakan setelah melaksanakan sholat pada hari raya itu, yaitu pada tanggal 10 Dzulhijah sampai tanggal 13 Dzulhijjah, atau sering kita kenal sebagai hari tasyrik. Lalu, bagaiman awal diperintahkannya Kurban dan apa makna kurban sesungguhnya bagi kita?

KISAH NABI IBRAHIM A.S. MENYEMBELIH ANAKNYA ISMAIL A.S.

Kita semua tahu bahwa awal mula diperintahkannya berkurban adalah pada masa Nabi Ibrahim a.s. Nabi Ibrahim dan istrinya--Siti Hajar--diuji keimanannya oleh Allah SWT. Setelah bertahun-tahun mereka menanti kelahiran seorang anak, yaitu Ismail a.s, mereka diuji dengan diperintahkan untuk menyembelihnya.

Pada suatu malam, Nabi Ibrahim a.s, bermimpi Allah SWT memeritahkannya supaya mengorbankan putranya--Ismail a.s.--. Karena yakin akan mimpinya itu, segera Nabi Ibrahim a.s. bermusyawarah dengan Ismail tentang hal itu. Dan di luardugaan, Ismail a.s. menjawab pertanyaan ayahnya itu dengan tenang seraya berkata : “Wahai ayahku, jika ini memang perintah Allah SWT, maka taatilah, dan aku rela untuk dikurbankan”

Mendengar tekad putranya, Nabi Ibrahim a.s. segera bersiap-siap untuk mengorbankan putranya. Tetapi, setelah segala sesuatunya selesai dan upacara kurban akan dimulai, terjadilah peristiwa yang menakjubkan. Dengan kekuasaan dan kebesaran Allah SWT, muncul seekor sembelihan (kambing) yang menggantikan Ismail a.s. untuk disembelih. Maka lega-lah hati Nabi Ibrahim a.s. Dipeluknya anak kesayangannya itu dengan penuh kasih, seraya mengucapkan pujian kepada Allah SWT.

Di dalam Al-Qur’an Allah SWT menerangkan peristiwa ini :
‘Ya Tuhan-ku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami Beri dia Kabar Gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami Panggilah Dia,”Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu", sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim". Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.’ (Q. S. Ash Shaffat : 100-111)

Maha Benar Allah SWT dengan segala firman-Nya. Begitu indah kisah tersebut. Dalam kisah terbut terdapat makna yang tersirat dan tersurat di dalamnya. Bagaimana kepatuhan Nabi Ibrahim a.s.,--bapak dari para nabi--terhadap Allah SWT. Padahal, Ismail a.s. adalah anak yang selama ini ditunggu-tunggu kehadirannya. Tapi, Nabi Ibrahim selalu ingat bahwa kepatuhan pada Allah SWT adalah segala-galanya.

Sampai pada akhirnya Allah SWT menujukkan kebesaran-Nya dengan mengganti Ismail a.s. dengan seekor sembelihan yang besar. Inilah buah dari kepasrahan, kepatuhan dan kesabaran diri pada Allah SWT. Inilah kisah yang banyak memberi kita pelajaran. Dimana terkadang dalam diri kita terdapat kecintaan yang dapat melebihi dari kecintaan pada Allah SWT. Padahal, tidak ada yang lebih pantas kita cintai daripada Allah SWT. Dia-lah Maha dari Segala Maha.
LALU, APA DAN SIAPA ISMAIL SAAT INI?

Di dalam kisah Nabi Ibrahim a.s, Ismail merupakan simbol dari sesuatu yang sangat dicintai, sesuatu yang sangat diinginkan, sesuatu yang diidam-idamkan selama bertahun-tahun dan sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu dengan penuh perjuangan. Tapi ternyata, sesuatu itu tidak berharga jika dibandingkan dengan kecintaan dan kepatuhan pada Allah SWT. Lalu, saat ini siapakah yang berperan sebagai Ismail dalam kehidupan kita?

‘Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). ‘ (Q. S. Ali-Imran :14)

Ayat di atas memberikan gambaran perihal apa saja yang selama ini dianggap indah oleh pandangan mata kita. Yang terkadang kita disilaukan dan terlena oleh semua itu. Harta yang melimpah ruah-kah? Kekuasaan-kah? Jabatan-kah? Anak-anak kita-kah? Keluarga kita-kah? Apa itu yang selama ini kita cintai? Yang selama ini kita kejar dengan penuh perjuangan, bahkan terkadang mata kita pun tertutup pada kebenaran. Yang ada hanyalah pemikiran-pemikiran pintas: yang penting naik jabatan, yang penting dapat kekuasaan, yang penting banyak harta. Tanpa kita sadari tangan kita telah sikut sana-sini, mendorong orang sehingga jatuh terjerembab. Kita sama sekali tidak peduli.

Itulah Ismail kita saat ini. Harta, kekayaan, jabatan, kekuasaan dan ego kita. Jangankan kita mau untuk mengorbankannya, rasanya kita sangat mati-matian untuk memenangkannya. Kita lupa bahwa di balik itu semua ada yang lebih harus kita cintai, yaitu Allah SWT. Kepatuhan kepada Allah SWT harus berada di atas segala-galanya.

Apa yang harus kita sombongkan? Bukankah harta, kekuasaan, jabatan, keluarga, anak-anak kita ,bahkan ego kita sendiri, itu hanyalah milik Allah SWT. Bahkan Allah SWT telah membeli diri dan harta orang-orang mukmin dan menggantinya dengan surga, sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT berikut :

‘Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.’ (Q. S. At Taubah : 111)

Sungguh betapa mulianya Allah SWT. Dia telah membeli sesuatu yang sebenarnya sudah menjadi miliknya. Lalu apa yang kita punya? Tidak malukah kita menyombongkan sesuatu yang sudah dibeli, yang secara otomatis itu bukan milik kita lagi? Tidak malukah kita memperjuangkan mati-matian sesuatu yang bukan milik kita? Itupun kalau kita sadar, kita menginginkan surga. Karena itulah yang Allah janjikan dan Allah Maha Menepati Janji-Nya. Untuk itu, kurbankanlah itu semua, terutama ego kita, karena benar-benar kecintaan pada Allah SWT. Hanya berdasar pada kepatuhan dan tunduk kepada Allah SWT semata. Pasrahkan diri hanya untuk diatur oleh aturan-aturan Allah SWT.

SEEKOR, SIMBOLISASI SIFAT HEWANI

Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa Ismail kita saat ini adalah harta, kekuasaan, jabatan, keluarga dan ego kita. Lalu, timbul satu pertanyaan lagi. Kenapa Ismail dalam Kisah Nabi Ibrahim a.s. kemudian diganti oleh seekor sembelihan yang besar seperti terdapat dalam Q.S Ash- Shaffat ayat 107, yaitu :
‘Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.’

Yang perlu digarisbawahi disini adalah kata SEEKOR. S-E-E-K-O-R. Seekor berarti hewan. Kalau saat ini hewan kurban itu berupa kambing, sapi atau unta. Pernahkah kita berpikir kenapa harus hewan yang jadi simbolisasinya? Sekarang, marilah kita lihat dan renungkan bagaimana kehidupan hewan!

Saat mereka lapar, mereka harus mendapatkan makanan. Tidak peduli dengan cara apapun. Bahkan mereka rela berebut dan menginjak hewan sejenis lainnya. Dan saat mereka mendapatkannya, mereka makan dengan rakus tanpa memikirkan hewan sejenis lainnya yang tidak mendapatkan bagian makanan. Di samping itu, mereka berkembangbiak seenaknya. Kawin dengan sesuka mereka. Kapanpun, dimanapun dan siapapun. Mereka hidup tanpa aturan. Benar kan? Karena toh ternyata sampai saat ini kita belum pernah mendengar kata “perkekambingan” atau perundan-undangan monyet.

Sekarang kita lihat dalam diri kita masing-masing, apakah perilaku hewani di atas ada dalam diri kita?
Bukankah semua sifat heawni itu tergambar jelas dalam kehidupan kita? Diantara kita saling berebut harta kekayaan dan jabatan dengan menghalalkan segala cara. Suap menyuap sudah jadi tradisi yang jamak dilakukan. Free sex semakin menjadi-jadi. Tidak hanya di kalangan remaja, tapi sudah menyebar di seluruh kalangan masyarakat. Pelacuran ada dimana-mana. Bapak memperkosa anaknya. Kakek memperkosa cucunya.

Satu hal lagi yang unik. Segalak-galaknya singa belum pernah ada yang memakan anaknya. Tapi kita manusia?!? Yang katanya punya perikemanusiaan, tapi sudah terdengar berita seorang ibu memakan jabang bayinya sendiri. Ada ibu yang membunuh 3 orang anaknya. Naudzubillah. Padahal bukankah Allah menciptakan manusia itu sebagai khalifah?

‘Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi...’ (Q. S. Al Faathir : 39)

‘Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi...’
(Q.S. Shaad : 26)

Sudah sebobrok itukah moral manusia? Lebih rendah dari seekor hewan?
Lalu, dimanakah aplikasi kurban yang sesungguhnya? Ritual kurban tidak hanya sebatas membeli seekor kambing, menyembelihnya antara tanggal 10 Dzulhijjah dan 13 Dzulhijjah, lalu membagikannya kepada orang yang berhak menerimanya. Lalu setelah itu, BERES. Tidak hanya sebatas itu.

Ketika kita kurban berarti telah ada dalam diri kita terdapat 2 kesiapan mendasar. Apakah itu?
Pertama, kita siap mengurbankan segala yang kita milikki hanya karena keptuhan dan ketundukkan kita pada Allah SWT. Dengan kata lain, tidak ada yang dapat mengalahkan kecintaan kita pada Allah SWT, apapun bentuk Ismail itu. Entah harta, jabatan, kekuasaan atau apapun juga.

Kedua, kita siap mengeliminasi sifat hewani yang terdapat dalam diri kita Salah satunya sifat serakah dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ingatlah bahwa ego dan hawa nafsu kita hanya boleh diatur oleh Allah SWT.

Marilah kita semua menjadi Ibrahim-Ibrahim kecil dalam kehidupan kita saat ini. Marilah kita kurbankan Ismail demi kecintaan kita pada Allah SWT. Marilah kita hilangkan sifat-sifat hewani yang mengakar dalam diri kita. Itulah hakekat kurban yang sebenarnya. Dan semoga kita dijadikan sebagai orang-orang yang memperoleh nikmat yang banyak, seperti dalam Q. S Al Kautsar ayat 1-2 : ‘Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.’ Walahu alam bi sawab.

(the 13’es_g!rl)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar