Bukankah hidup kita ini bagaikan drama tempat kita menyaksikan pergantian siang dan malam? Lalu untuk apakah kita hidup? Hanya untuk memenuhi hasrat-kah?
“JIKA HIDUP HANYA SEKEDAR MEMENUHI HASRAT DAN KEBUTUHAN SEHARI-HARI, BINATANG PUN BISA.”
Manusia yang tak punya orientasi hidup adalah manusia yang gagal jadi manusia. Manusia yang kalah. Tapi, semua kondisi ini dapat diterangi oleh pengalaman menunaikan haji.
Haji merupakan sebuah drama kolosal dengan Dia sebagai Sang Sutradara-nya. Inilah sebuah panggilan agar kita menghampiri-Nya. Ingatkah kita ketika Dia meniupkan ruh ke dalam hati kita? Kemudian kita diberi waktu untuk menjadi khalifah-Nya? Tapi, apa yang kita lakukan? Dengan sekehendak hati kita korupsi waktu itu dengan menghamba pada nafsu semata. Dimanakah ruh Allah itu saat ini? Bangkitlah! Penuhilah panggilan-Nya!!! Tinggalkanlah kampung halamanmu, negerimu, rumahmu. Tinggalkan dan hampirilah Dia!!!
Ingatlah bahwa
Drama kolosal ini bermula di Miqat. Ketika kita harus menanggalkan pakaian kita yang bercorak dan bermotif yang berwarna-warni, dengan pakaian yang berwarna sama yaitu PUTIH. Dengan berpakaian seperti itu, miskin, kaya, status, ras, semua menjadi satu. Beginilah kiranya suasana dan pemandangan yang akan kita saksikan di Hari Kiamat nanti. Sejauh mata memandang semuanya berpakaian serba putih---kain kafan--. Jasad kita telah dikubur di Miqat. Status, ras, pangkat, jabatan, semuanya kita tanggalkan.
Ini mengingatkan kita pada tujuan hidup. Kita akan menghadap-Nya sebagai manusia, tidak sebagai serigala (simbol kekejaman dan penidasan), tikus (simbol kelicikan), anjing (simbol tipu daya) atau domba (simbol penghambaan). Ingat dan camkan, kita akan menghadap-Nya sebagai manusia.
Niat.. inilah yang harus kita teguhkan. Kita harus benar-benar mengukuhkan tujuan kita meninggalkan rumah untuk menuju rumah Allah. Kita harus meninggalkan ke-AKU-an demi menuju kepasrahan diri pada Allah SWT. Ingatlah hal itu!!!
Kabah... Ketika kita melihat Kabah, yang merupakan arah kiblat, arah sholat kita, Kabah tak lain ruangan persegi yang kosong. Sebuah bangunan yang yang terbuat dari bebatuan hitam, tanpa ragam warna atau dekorasi apapun. Mengapa? Karena Allah Yang Akbar tidak mempunyai bentuk dan warna. Dia adalah Maha dari segala Maha.
Thawaf... Bukankah kita hendak menghampiri-Nya? Tapi kenapa kita malah berduyun-duyun dengan orang banyak? Karena jalan Allah adalah jalan umat manusia, yang harus ditempuh dengan berbarengan bukan sendiri-sendiri. Semuanya berotasi dengan Kabah sebagai pusatnya. Kita berjalan bukan lagi karena hawa nafsu kita, tapi mengikuti arus. Setetes air yang bukan bagian dari sungai atau yang tidak mengalir ke dalam lautan adalah embun. Kehidupannya hanya setengah putaran waktu, karena ia akan hilang tertelan siang begitu fajar menyingsing.
Tetapi sebelum bergabung dengan mereka, kita harus benar-benar menyadari APA YANG AKAN KITA LAKUKAN DAN MENGAPA KITA SUDI MELAKUKAN ITU?!? Lakukanlah hanya demi Allah semata. Ingatlah :
“...sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” (Al Ankabut : 3)
Sa’i.... Bisa kita bayangkan ketika Siti Hajar bersama putranya yang masih bayi---Ismail--- harus meninggalkan kampung halaman menuju lembah yang tandus, tanpa air. Sendirian, gelisah. Yang dia punya saat itu adalah PENGHARAPAN. Tapi, dia tidak duduk berpangku tangan dan berputus asa begitu saja, dia berlari dari bukit Safa kemudian ke Marwah. Dia terus berlari dengan penuh pengharapan.
Thawaf : kita meyakini hanya Allah. Sa’i : hanya manusia.
Thawaf : hanya jiwa. Sa’i : hanya raga.
Thawaf : hidup bukan demi hidup sendiri, tetapi demi Allah SWt
Sa’i : sebuah usaha kerja maksimal yang bisa kita sanggupi
Rasionalisme ataukah petunjuk Illahi?
Dunia ataukah akhirat?
Kehendak Allah ataukah kehendak sendiri?
Bersandar kepada Allah ataukah bersandar kepada diri sendiri?
Allah menjawabnya : Ambillah keduanya! Sekali lagi, Hajar tidak duduk berpangku tangan, menunggu keajaban datang, tiba-tiba makanan datang dari surga. TIDAK!!! Dalam kecemasan dan kesendirian itu, Hajar berlari dan terus berlari. Tapi, dengan lemas dia tidak menghasilkan apapun, dan betapa terkejutnya dia ketika anaknya ternyata telah menggali pasir dengan tumitnya dan dari tempat yang tidak disangka-sangka, keluarlah air. Itulah Zamzam.
Pelajaran yang bisa kita ambil : AIR TIDAK DIPEROLEH MELALUI IKHTIAR YANG MENYULITKAN, TAPI MELALUI CINTA SETELAH KITA BEKERJA SERIUS DAN SUNGGUH-SUNGGUH. Bukan hasil, tapi proses untuk mencapai hasil, karena Allah-lah yang menentukan hasil. Cinta-Nya lah yang menentukan hasil.
“Yang menjadi tragedimu adalah menemukan dirimu sendiri setelah sekian lama engkau tersesat dan kehilangan jalan. PENGORBANAN DI ATAS JALAN KEBENARAN ADALAH KESELAMATAN! Dan pengorbanan dirimu sendiri di jalan kebenaran (jalan Allah SWT) adalah ibadah dan pengabdian yang sesungguhnya.”
KURBAN...
Notes :
Tulisan ini dibuat setelah seorang sahabat memberi pinjam kepadaku buku yang berjudul "Menjadi Manusia haji" Karya : Ali Syari’ati Penerbit : Jalasutra
Haji merupakan sebuah drama kolosal dengan Dia sebagai Sang Sutradara-nya. Inilah sebuah panggilan agar kita menghampiri-Nya. Ingatkah kita ketika Dia meniupkan ruh ke dalam hati kita? Kemudian kita diberi waktu untuk menjadi khalifah-Nya? Tapi, apa yang kita lakukan? Dengan sekehendak hati kita korupsi waktu itu dengan menghamba pada nafsu semata. Dimanakah ruh Allah itu saat ini? Bangkitlah! Penuhilah panggilan-Nya!!! Tinggalkanlah kampung halamanmu, negerimu, rumahmu. Tinggalkan dan hampirilah Dia!!!
Ingatlah bahwa
“EKSISTENSI MANUSIA TAK BERARTI DAN TAK BERHARGA SAMA SEKALI, KECUALI JIKA TUJUAN HIDUPNYA ADALAH SENANTIASA UNTUK MENDEKATI RUH ALLAH SWT.”
(^_^)
Drama kolosal ini bermula di Miqat. Ketika kita harus menanggalkan pakaian kita yang bercorak dan bermotif yang berwarna-warni, dengan pakaian yang berwarna sama yaitu PUTIH. Dengan berpakaian seperti itu, miskin, kaya, status, ras, semua menjadi satu. Beginilah kiranya suasana dan pemandangan yang akan kita saksikan di Hari Kiamat nanti. Sejauh mata memandang semuanya berpakaian serba putih---kain kafan--. Jasad kita telah dikubur di Miqat. Status, ras, pangkat, jabatan, semuanya kita tanggalkan.
Ini mengingatkan kita pada tujuan hidup. Kita akan menghadap-Nya sebagai manusia, tidak sebagai serigala (simbol kekejaman dan penidasan), tikus (simbol kelicikan), anjing (simbol tipu daya) atau domba (simbol penghambaan). Ingat dan camkan, kita akan menghadap-Nya sebagai manusia.
Niat.. inilah yang harus kita teguhkan. Kita harus benar-benar mengukuhkan tujuan kita meninggalkan rumah untuk menuju rumah Allah. Kita harus meninggalkan ke-AKU-an demi menuju kepasrahan diri pada Allah SWT. Ingatlah hal itu!!!
Kabah... Ketika kita melihat Kabah, yang merupakan arah kiblat, arah sholat kita, Kabah tak lain ruangan persegi yang kosong. Sebuah bangunan yang yang terbuat dari bebatuan hitam, tanpa ragam warna atau dekorasi apapun. Mengapa? Karena Allah Yang Akbar tidak mempunyai bentuk dan warna. Dia adalah Maha dari segala Maha.
Thawaf... Bukankah kita hendak menghampiri-Nya? Tapi kenapa kita malah berduyun-duyun dengan orang banyak? Karena jalan Allah adalah jalan umat manusia, yang harus ditempuh dengan berbarengan bukan sendiri-sendiri. Semuanya berotasi dengan Kabah sebagai pusatnya. Kita berjalan bukan lagi karena hawa nafsu kita, tapi mengikuti arus. Setetes air yang bukan bagian dari sungai atau yang tidak mengalir ke dalam lautan adalah embun. Kehidupannya hanya setengah putaran waktu, karena ia akan hilang tertelan siang begitu fajar menyingsing.
Tetapi sebelum bergabung dengan mereka, kita harus benar-benar menyadari APA YANG AKAN KITA LAKUKAN DAN MENGAPA KITA SUDI MELAKUKAN ITU?!? Lakukanlah hanya demi Allah semata. Ingatlah :
“...sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” (Al Ankabut : 3)
Sa’i.... Bisa kita bayangkan ketika Siti Hajar bersama putranya yang masih bayi---Ismail--- harus meninggalkan kampung halaman menuju lembah yang tandus, tanpa air. Sendirian, gelisah. Yang dia punya saat itu adalah PENGHARAPAN. Tapi, dia tidak duduk berpangku tangan dan berputus asa begitu saja, dia berlari dari bukit Safa kemudian ke Marwah. Dia terus berlari dengan penuh pengharapan.
Thawaf : kita meyakini hanya Allah. Sa’i : hanya manusia.
Thawaf : hanya jiwa. Sa’i : hanya raga.
Thawaf : hidup bukan demi hidup sendiri, tetapi demi Allah SWt
Sa’i : sebuah usaha kerja maksimal yang bisa kita sanggupi
Rasionalisme ataukah petunjuk Illahi?
Dunia ataukah akhirat?
Kehendak Allah ataukah kehendak sendiri?
Bersandar kepada Allah ataukah bersandar kepada diri sendiri?
Allah menjawabnya : Ambillah keduanya! Sekali lagi, Hajar tidak duduk berpangku tangan, menunggu keajaban datang, tiba-tiba makanan datang dari surga. TIDAK!!! Dalam kecemasan dan kesendirian itu, Hajar berlari dan terus berlari. Tapi, dengan lemas dia tidak menghasilkan apapun, dan betapa terkejutnya dia ketika anaknya ternyata telah menggali pasir dengan tumitnya dan dari tempat yang tidak disangka-sangka, keluarlah air. Itulah Zamzam.
Pelajaran yang bisa kita ambil : AIR TIDAK DIPEROLEH MELALUI IKHTIAR YANG MENYULITKAN, TAPI MELALUI CINTA SETELAH KITA BEKERJA SERIUS DAN SUNGGUH-SUNGGUH. Bukan hasil, tapi proses untuk mencapai hasil, karena Allah-lah yang menentukan hasil. Cinta-Nya lah yang menentukan hasil.
>>ARAFAH – MAHSYAR – MINA<<
Pengetahuan & Sains – Kesadaran dan Pemahaman – Cinta & Keteguhan Jiwa
KEPASRAHAN + KEPATUHAN = ISLAM
“Yang menjadi tragedimu adalah menemukan dirimu sendiri setelah sekian lama engkau tersesat dan kehilangan jalan. PENGORBANAN DI ATAS JALAN KEBENARAN ADALAH KESELAMATAN! Dan pengorbanan dirimu sendiri di jalan kebenaran (jalan Allah SWT) adalah ibadah dan pengabdian yang sesungguhnya.”
KURBAN...
Notes :
Tulisan ini dibuat setelah seorang sahabat memberi pinjam kepadaku buku yang berjudul "Menjadi Manusia haji" Karya : Ali Syari’ati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar