"Jadilah pemimpi yang mendunia, yang masih menapakkan kaki di bumi"
"Batas antara MIMPI dan GILA adalah tali kekang kesadaran"

Minggu, 10 Januari 2010

>>> SEBUAH RENUNGAN <<<

Saat mata terkaburkan oleh nafsu

Jalan lurus membentang di hadapanku

Tapi, aku seolah berenggan diri

Terlena akan rutinitas yang terjadi

Bukan ragu yang menghantuiku, tapi ketakutan

Ketakutan yang begitu mendalam

Katakutan yang menimbulkan sebuah tanya :

“Akankah ini jalan yang menuju pada-Mu?”


Ya Allah...

Yang Maha Pemberi ketakutan, Yang Menguasai diri ini,

Ampunilah kebodohan dan kealfaanku

Aku hanyalah seorang manusia yang lemah

Dengan pendengaran, penglihatan dan hati yang diberikan oleh-Mu itu,

Aku tidak bisa memikirkan kebesaran-Mu



Ya Allah...

Kenapa aku harus memikirkan ketakutan itu?

Bukankah jiwa ini hanya tertaut pada-Mu?

Bukankah tujuan ini tertuju pada-Mu?

Lalu, kenapa aku harus takut?

Bukankah ketika aku mendekati-Mu dengan berjalan, Engkau akan menghampiriku dengan berlari?

Dan bukankah Engkau sesungguhnya lebih dekat dari urat leherku sendiri?

Kenapa aku harus takut melangkah?


Dimanakah jiwa Salman Al Faritsi itu?

Sang Pencari Kebenaran...

Tidak mudah jalan yang dia tempuh,

tapi dengan tekad dan niat yang sungguh-sungguh

dia akhirnya bisa bertemu dengan utusan-Mu,

Pembawa kabar gembira dan Pemberi Peringatan di muka bumi


Ya Allah...

Yaa Rahman...Yaa Rahim...

Masih pantaskah aku mempertanyakan?

Sebuah tanya yang tak ubahnya topeng

Topeng atas ketakutanku

Topeng atas egoku

Topeng atas kepengecutanku


Ya Alah..

janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan

sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami,

dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau;

karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)

(QS. Ali Imran : 8)


Ya Allah..

Izinkan aku menutup mataku sejenak

Izinkan aku mencoba membayangkan aku terlahir pada masa Rasulullah SAW

Akankah aku termasuk orang yang membelanya?

Akankah aku termasuk pengikutnya?

Akankah aku termasuk orang yang rela mati karena menegakkan aqidah “Laa Ilaha Ilaalah”?

Akankah aku bisa memiliki jiwa Bilal itu?

Yang meskipun seorang budak, ditimpa batu besar, dia tetap pada aqidahnya

Mulutnya tak henti-hentinya mengucapkan

“Laa ilaha Ilaalah...Ahad...Ahad...”


Ataukah aku justru termasuk orang yang melempari Rasulullah SAW dengan batu?

Meludahinya, menghinanya dan menganggap bahwa dia seorang penyihir, pemberontak

Di tengah adat kebiasaan yang aku dapati saat itu,

Dimana semua orang menyembah patung berhala sebagai Tuhannya

Menganggap yang mendatangkan rezeki baginya dan mengatur kehidupannya

Tiba-tiba saja...

Ada seorang manusia yang bernama Muhammad yang menyatakan bahwa dirinya adalah utusan Allah dan menyerukan tauhid...tauhid... dan tauhid...

Laa Ilaha Ilaalah, Tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah, Hanya Allah semata


Bukankah rasionalisme-ku akan memberontak?

Akankah aku termasuk orang yang bisa mengalahkan logika?

Akankah aku termasuk yang memegang aqidah dengan kuat?

Bukankah aqidah harus berada di atas logika?


Ya Allah...

Saat aku membuka mataku,

Dengan hidupku saat ini, detik ini, keadaannya tak jauh berbeda

Berhala-berhala itu masih ada,

Walau tidak dalam bentuk patung yang terbuat dari batu

Berhala itu kini berbentuk harta, pangkat, profesi, jabatan, ego, modernisasi, bahkan cinta yang aku rasakan pun bisa jadi berhala?

Ya, bukankah aku masih menyembah hal itu?


Dimanakah makna syahadatku?

Bukankah aku mengakui syahadat adalah rukun Islam pertama?

Merupakan pondasi dari semuanya

Tiada Tuhan Yang Patut Disembah selain Allah,

Dan Muhammad adalah utusan Allah,


Tapi, apa yang aku sembah?

Masihkah berhala-berhala itu?

Apa yang aku ikuti?

Masihkah hawa nafsu ini?


Saatnya aku bangkit, lari dan mencari risalah-Mu itu, mencari kebenaran

Aku-lah yang harus jadi Salman Al-Faritsi saat ini

Saatnya aku melangkah ke jalan-Mu

Ya Allah...

Izinkan aku menutup mata kembali

Izinkan aku mencoba membayangkan aku sebagai Siti Hajar?

Mampukah aku menjalankan titah-Mu?

Meninggalkan kampung halaman dan menuju tanah yang tandus, kering tanpa air?

Mampukah aku melakukan itu demi totalitas dan kepasrahanku pada-Mu?

Ditambah dengan seorang anak yang masih bayi, yang memerlukan air...


Sepi, sendiri dan gelisah...

Akankah aku punya sebuah keyakinan : Keyakinan akan cinta-Mu

Sebuah PENGHARAPAN...

Tapi dengan itu, haruskah aku diam?

Menunggu datangnya air dari langit?

Menunggu keajaiban?


Akankah aku berlari dari bukit Safa menuju Marwah?

Tapi, bisa terbayangkan kah bila aku telah berlari, dengan susah payah, tapi air tak juga aku temukan?

Tidak berpikirkah aku?

Bahwa bukan usaha yang keras yang menimbulkan hasil, tapi cinta-Mu

Air itu datang karena cinta-Mu. Zamzam itu.


Ya Allah...

Saat aku membuka mata,

Pantaskah aku masih bertanya, haruskah aku menjalankan perintah-Mu?

Demi totalitas dan kepasrahan pada-Mu

Pantaskah aku bertanya, apakah perjuanganku akan berhasil?

TIDAK!!! TIDAK!!! Aku tidak pantas lagi bertanya-tanya...

Bukan hasil yang diperoleh.. Bukan... Bukan...


Siti Hajar pun tidak memperoleh hasil dari apa yang dia usahakan,

tapi karena Cinta-Mu air itu ada

Sebagai manusia, aku hanya bisa melakukan sebuah usaha, usaha dan usaha yang sungguh-sungguh

Usaha yang berdasarkan hanya bergantung pada-Mu?

Biarkanlah Engkau yang menentukan hasilnya?

Aku sadar aku tidak akan masuk surga karena usahaku dan amalku,

Aku hanya akan masuk surga dengan ridho-Mu

Engkaulah Pemilik Surga itu

Dan bagaimana aku bisa mendapatkan surga-Mu,

kalau aku tidak bisa mencapai tujuan atas penciptaan diriku ini?

Aku tidak menjalankan peranku sebagai hamba-Mu

Aku tidak menjalankan peranku sebagai khalifah-Mu


Ya Allah...Ya Rabb...

Ya Ghoffar... Ampunilah atas kekhilafanku

Atas kebodohanku... Atas pertanyaan-pertanyaanku yang bodoh pula...

Aku hanya bisa berharap pertanyaan itulah yang mengantarkanku pada-Mu..

Ya Allah...

Izinkan aku menutup mata lagi

Izinkan aku membayangkan kehidupan bapak dari para Nabi, Ibrahim.

Ketika dia dilahirkan di rumah Azar, seorang pembuat berhala..

Ibrahim mulai mempertanyakan siapa Tuhannya?

Ketika malam telah menjadi gelap,

dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku"

Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata:

"Saya tidak suka kepada yang tenggelam"

Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku"

Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat"



Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar"

maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.

Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.

( QS. Al An’am : 76-79)


Ibrahim kemudian menyeru pada ayahnya sendiri:

"Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun?

Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.

Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.

Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan".


Kemudia bapaknya berkata:

Berkata bapaknya: "Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama".


Ibrahim pun hanya bisa berkata :

"Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.

Dan aku akan menjauhkan diri dari padamu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku". (QS. Maryam : 42-48)


Kemudian Allah menguji Ibrahim,

Setelah bertahun-tahun dia mendambakan anak kemudian diberilah Ismail

Lalu, Allah meminta Ibrahim mengurbankan Ismail


Perguncangan hebat pun terjadi dalam diri Ibrahim,

Antara taat pada Allah dan kecintaan pada Ismail?

Setan dengan bujuk rayunya, mencoba menyamarkan perintah Allah itu?

Hanya sebuah mimpi, akankah itu perintah?!?

Mimpi...


Tidak mudah bagi Ibrahim untuk melaksanakan perintah Allah

Dia benar-benar bergelut antara patuh dan cinta?

Tapi ternyata, kecintaannya pada Ismail tidak menyamarkan cinta-Nya pada Allah?

Bahkan tidak mengurangi sedikit pun kecintaannya pada Allah



Perintah itu pun dilakukan oleh Ibrahim

Dengan berat hati, dia mengatakan perintah Allah itu pada anaknya, Ismail

"Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar"


Pada akhirnya, Allah pun menujukan keagungan-Nya,

Dia menebus Ismail dengan seekor sembelihan yang besar.

(Ash Shaffat : 101-111)


Allah tidak haus darah

Dia butuh kualitas jiwa

Mengorbankan kecintaan bukan domba atau darah..


Subhanallah... Maha Benar Allah...


Saat aku membuka mataku,

Melihat diri ini, melihat diriku saat ini

Aku dilahirkan di keluarga ini, keluarga yang penuh canda tawa, keluarga yang hangat bukanlah keinginanku, bukan pula pesananku

Ini adalah kehendak Allah, kehendak-Mu

Karena qudrah dan iradaah-Mu..

Dan aku pun yakin Engkau tidak akan meminta pertanggungjawaban atas qudrah dan iradah yang terjadi atas diriku


Tapi, bagaimana dengan qudrah dan iradah-Mu itu aku bisa mengingat-Mu, hanya bergantung pada-Mu, hanya Allah tidak ada Illah-Illah yang lain,


Bagaimana di tengah keluargaku,

Aku tidak terlena..

Aku tetap ingat pada-Mu..


Ingatlah Ibrahim, dia dihadirkan di tengah keluarga pembuat berhala

Belajarlah dari Ibrahim!!

Aku tidak ada apa-apanya...

Justru, akulah yang membuat keluargaku sebagai berhalaku..

Kecintaanku pada keluarga

Membuat aku enggan beranjak dari hangatnya kasih sayang keluargaku

Pikiran yang sempit yang membuatku enggan

Ya, pemikiran yang begitu sempit

Aku menganggap bahwa ketika aku melangkah, aku meninggalkan semuanya..

Tidak... Tidak seperti itu...


Bukankah aku diperintahkan untuk berbuat baik :

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.


Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. Lukman : 14-15)


Kenapa aku harus enggan untuk melangkah?

Aku tidak akan kehilangan..

Aku hanya harus menempatkan kecintaanku pada-Mu di atas kecintaan orang tuaku


Ya Alah...

Dengan menyebut nama-Mu.. Aku sembelih Ismailku...


Harta...!!!

Lagi-lagi pikiran sempit ini berkata ketika aku melangkah

aku harus meninggalkan dunia

Bodohnya aku...!

Aku melangkah bukan untuk jadi sufi..!!


Memahami hakekat, bukan berarti meninggalkan syariat

Camkan dan ingatlah itu!!!



Al Qarni dalam “Cambuk Hati” menuliskan bahwa :



Pengertian meninggalkan tidak berarti meninggalkan harta, keluarga dan anak, tetapi mengerjakan ketaatan pada Allah dan memprioritaskan pahala yang ada di sisi Allah dalam sikap mengambil dan meninggalkannya

Jika adanya dunia dapat memperbaikki ketaatan Anda kepada Allah dantidak adanya justru dapat merusak ketaatan Anda kepada Allah, jangan hiraukan perkataan orang bahwa dunia itu tercela dan peliharalah oleh diri dan amal Anda apa yang menjadi kemashlahatan bagi dunia Anda.

Sesungguhnya orang yang taat kepada Allah berkenaan dengan dunianya terpuji di sisi Allah.

Sesungguhnya yang dikenai kecaman dan celaan dalam mengambil keduniawian ialah apabila yang bersangkutan berkhianat terhadap Allah berkenaan dengannya.


Apalagi yang harus aku pikirkan???

Kalaupun Allah memerintahku untuk meminta hartaku, apa yang harus aku takutkan?

Bukankah aku pergi menghampiri Sang Pemberi Harta, Sang pengatur Rezeki??

Apa yang harus aku takutkan?


Aku tidak punya apa-apa?

Semua milik Allhah... Hanya Allah...


Ya Allah...

Dengan menyebut nama-Mu... Aku sembelih lagi Ismail-ku..


CINTA...??? JODOH...??? PASANGAN HIDUP....???

Pantaskah aku ragu karena itu?

Belum tentu usiaku sampai pada waktu-waktu seperti itu

Tidakkah aku memikirkan keselamatan diriku?

Apakah hari ini, detik ini, aku berada dalam rangka berbakti pada Allah?

Kenapa pikiranku melayang pada hal-hal yang jauh?


Pikirkan keselamatanmu...!!!

Yakinlah bahwa Allah telah mengatur-Nya.

Yakinlah...


Meyakini hakekat bukan berarti meninggalkan syariat

Tapi, detik ini, dalam usiaku saat ini

Belum saatnya aku memikrkan syariat tentang hal ini


Someone... Somewhere... is made for me...


Aku hanya bisa berharap,

Satukanlah kami dalam menggapai kecintaan-Mu, ya Illahi...!!!


Aku datang menghampiri-Mu...!!!

Maha dari Segala Maha!!

Kenapa aku harus takut...?!??

Apa yang aku takutkan..???

Yakinlah pertolongan-Mu begitu dekat, janji-Mu adalah sebenar-benar janji!

Kepada siapa aku bergantung, selain kepdamu, Ya Allah!!!


Ya Allah...

Dengan menyebut nama-Mu... Aku sembelih Ismail-ku..


Aku hadapkan wajahmu kepada-Mu...

Ampuni aku Ya Allah...


(^_^)

Siapakah Ibrahim dan Ismail saat ini...?!?

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)”
(Q. S. Al-Hajj : 34)


Idul Adha disebut juga sebagai Idul Kurban, karena kurban dilaksanakan setelah melaksanakan sholat pada hari raya itu, yaitu pada tanggal 10 Dzulhijah sampai tanggal 13 Dzulhijjah, atau sering kita kenal sebagai hari tasyrik. Lalu, bagaiman awal diperintahkannya Kurban dan apa makna kurban sesungguhnya bagi kita?

KISAH NABI IBRAHIM A.S. MENYEMBELIH ANAKNYA ISMAIL A.S.

Kita semua tahu bahwa awal mula diperintahkannya berkurban adalah pada masa Nabi Ibrahim a.s. Nabi Ibrahim dan istrinya--Siti Hajar--diuji keimanannya oleh Allah SWT. Setelah bertahun-tahun mereka menanti kelahiran seorang anak, yaitu Ismail a.s, mereka diuji dengan diperintahkan untuk menyembelihnya.

Pada suatu malam, Nabi Ibrahim a.s, bermimpi Allah SWT memeritahkannya supaya mengorbankan putranya--Ismail a.s.--. Karena yakin akan mimpinya itu, segera Nabi Ibrahim a.s. bermusyawarah dengan Ismail tentang hal itu. Dan di luardugaan, Ismail a.s. menjawab pertanyaan ayahnya itu dengan tenang seraya berkata : “Wahai ayahku, jika ini memang perintah Allah SWT, maka taatilah, dan aku rela untuk dikurbankan”

Mendengar tekad putranya, Nabi Ibrahim a.s. segera bersiap-siap untuk mengorbankan putranya. Tetapi, setelah segala sesuatunya selesai dan upacara kurban akan dimulai, terjadilah peristiwa yang menakjubkan. Dengan kekuasaan dan kebesaran Allah SWT, muncul seekor sembelihan (kambing) yang menggantikan Ismail a.s. untuk disembelih. Maka lega-lah hati Nabi Ibrahim a.s. Dipeluknya anak kesayangannya itu dengan penuh kasih, seraya mengucapkan pujian kepada Allah SWT.

Di dalam Al-Qur’an Allah SWT menerangkan peristiwa ini :
‘Ya Tuhan-ku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami Beri dia Kabar Gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami Panggilah Dia,”Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu", sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim". Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.’ (Q. S. Ash Shaffat : 100-111)

Maha Benar Allah SWT dengan segala firman-Nya. Begitu indah kisah tersebut. Dalam kisah terbut terdapat makna yang tersirat dan tersurat di dalamnya. Bagaimana kepatuhan Nabi Ibrahim a.s.,--bapak dari para nabi--terhadap Allah SWT. Padahal, Ismail a.s. adalah anak yang selama ini ditunggu-tunggu kehadirannya. Tapi, Nabi Ibrahim selalu ingat bahwa kepatuhan pada Allah SWT adalah segala-galanya.

Sampai pada akhirnya Allah SWT menujukkan kebesaran-Nya dengan mengganti Ismail a.s. dengan seekor sembelihan yang besar. Inilah buah dari kepasrahan, kepatuhan dan kesabaran diri pada Allah SWT. Inilah kisah yang banyak memberi kita pelajaran. Dimana terkadang dalam diri kita terdapat kecintaan yang dapat melebihi dari kecintaan pada Allah SWT. Padahal, tidak ada yang lebih pantas kita cintai daripada Allah SWT. Dia-lah Maha dari Segala Maha.
LALU, APA DAN SIAPA ISMAIL SAAT INI?

Di dalam kisah Nabi Ibrahim a.s, Ismail merupakan simbol dari sesuatu yang sangat dicintai, sesuatu yang sangat diinginkan, sesuatu yang diidam-idamkan selama bertahun-tahun dan sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu dengan penuh perjuangan. Tapi ternyata, sesuatu itu tidak berharga jika dibandingkan dengan kecintaan dan kepatuhan pada Allah SWT. Lalu, saat ini siapakah yang berperan sebagai Ismail dalam kehidupan kita?

‘Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). ‘ (Q. S. Ali-Imran :14)

Ayat di atas memberikan gambaran perihal apa saja yang selama ini dianggap indah oleh pandangan mata kita. Yang terkadang kita disilaukan dan terlena oleh semua itu. Harta yang melimpah ruah-kah? Kekuasaan-kah? Jabatan-kah? Anak-anak kita-kah? Keluarga kita-kah? Apa itu yang selama ini kita cintai? Yang selama ini kita kejar dengan penuh perjuangan, bahkan terkadang mata kita pun tertutup pada kebenaran. Yang ada hanyalah pemikiran-pemikiran pintas: yang penting naik jabatan, yang penting dapat kekuasaan, yang penting banyak harta. Tanpa kita sadari tangan kita telah sikut sana-sini, mendorong orang sehingga jatuh terjerembab. Kita sama sekali tidak peduli.

Itulah Ismail kita saat ini. Harta, kekayaan, jabatan, kekuasaan dan ego kita. Jangankan kita mau untuk mengorbankannya, rasanya kita sangat mati-matian untuk memenangkannya. Kita lupa bahwa di balik itu semua ada yang lebih harus kita cintai, yaitu Allah SWT. Kepatuhan kepada Allah SWT harus berada di atas segala-galanya.

Apa yang harus kita sombongkan? Bukankah harta, kekuasaan, jabatan, keluarga, anak-anak kita ,bahkan ego kita sendiri, itu hanyalah milik Allah SWT. Bahkan Allah SWT telah membeli diri dan harta orang-orang mukmin dan menggantinya dengan surga, sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT berikut :

‘Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.’ (Q. S. At Taubah : 111)

Sungguh betapa mulianya Allah SWT. Dia telah membeli sesuatu yang sebenarnya sudah menjadi miliknya. Lalu apa yang kita punya? Tidak malukah kita menyombongkan sesuatu yang sudah dibeli, yang secara otomatis itu bukan milik kita lagi? Tidak malukah kita memperjuangkan mati-matian sesuatu yang bukan milik kita? Itupun kalau kita sadar, kita menginginkan surga. Karena itulah yang Allah janjikan dan Allah Maha Menepati Janji-Nya. Untuk itu, kurbankanlah itu semua, terutama ego kita, karena benar-benar kecintaan pada Allah SWT. Hanya berdasar pada kepatuhan dan tunduk kepada Allah SWT semata. Pasrahkan diri hanya untuk diatur oleh aturan-aturan Allah SWT.

SEEKOR, SIMBOLISASI SIFAT HEWANI

Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa Ismail kita saat ini adalah harta, kekuasaan, jabatan, keluarga dan ego kita. Lalu, timbul satu pertanyaan lagi. Kenapa Ismail dalam Kisah Nabi Ibrahim a.s. kemudian diganti oleh seekor sembelihan yang besar seperti terdapat dalam Q.S Ash- Shaffat ayat 107, yaitu :
‘Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.’

Yang perlu digarisbawahi disini adalah kata SEEKOR. S-E-E-K-O-R. Seekor berarti hewan. Kalau saat ini hewan kurban itu berupa kambing, sapi atau unta. Pernahkah kita berpikir kenapa harus hewan yang jadi simbolisasinya? Sekarang, marilah kita lihat dan renungkan bagaimana kehidupan hewan!

Saat mereka lapar, mereka harus mendapatkan makanan. Tidak peduli dengan cara apapun. Bahkan mereka rela berebut dan menginjak hewan sejenis lainnya. Dan saat mereka mendapatkannya, mereka makan dengan rakus tanpa memikirkan hewan sejenis lainnya yang tidak mendapatkan bagian makanan. Di samping itu, mereka berkembangbiak seenaknya. Kawin dengan sesuka mereka. Kapanpun, dimanapun dan siapapun. Mereka hidup tanpa aturan. Benar kan? Karena toh ternyata sampai saat ini kita belum pernah mendengar kata “perkekambingan” atau perundan-undangan monyet.

Sekarang kita lihat dalam diri kita masing-masing, apakah perilaku hewani di atas ada dalam diri kita?
Bukankah semua sifat heawni itu tergambar jelas dalam kehidupan kita? Diantara kita saling berebut harta kekayaan dan jabatan dengan menghalalkan segala cara. Suap menyuap sudah jadi tradisi yang jamak dilakukan. Free sex semakin menjadi-jadi. Tidak hanya di kalangan remaja, tapi sudah menyebar di seluruh kalangan masyarakat. Pelacuran ada dimana-mana. Bapak memperkosa anaknya. Kakek memperkosa cucunya.

Satu hal lagi yang unik. Segalak-galaknya singa belum pernah ada yang memakan anaknya. Tapi kita manusia?!? Yang katanya punya perikemanusiaan, tapi sudah terdengar berita seorang ibu memakan jabang bayinya sendiri. Ada ibu yang membunuh 3 orang anaknya. Naudzubillah. Padahal bukankah Allah menciptakan manusia itu sebagai khalifah?

‘Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi...’ (Q. S. Al Faathir : 39)

‘Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi...’
(Q.S. Shaad : 26)

Sudah sebobrok itukah moral manusia? Lebih rendah dari seekor hewan?
Lalu, dimanakah aplikasi kurban yang sesungguhnya? Ritual kurban tidak hanya sebatas membeli seekor kambing, menyembelihnya antara tanggal 10 Dzulhijjah dan 13 Dzulhijjah, lalu membagikannya kepada orang yang berhak menerimanya. Lalu setelah itu, BERES. Tidak hanya sebatas itu.

Ketika kita kurban berarti telah ada dalam diri kita terdapat 2 kesiapan mendasar. Apakah itu?
Pertama, kita siap mengurbankan segala yang kita milikki hanya karena keptuhan dan ketundukkan kita pada Allah SWT. Dengan kata lain, tidak ada yang dapat mengalahkan kecintaan kita pada Allah SWT, apapun bentuk Ismail itu. Entah harta, jabatan, kekuasaan atau apapun juga.

Kedua, kita siap mengeliminasi sifat hewani yang terdapat dalam diri kita Salah satunya sifat serakah dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ingatlah bahwa ego dan hawa nafsu kita hanya boleh diatur oleh Allah SWT.

Marilah kita semua menjadi Ibrahim-Ibrahim kecil dalam kehidupan kita saat ini. Marilah kita kurbankan Ismail demi kecintaan kita pada Allah SWT. Marilah kita hilangkan sifat-sifat hewani yang mengakar dalam diri kita. Itulah hakekat kurban yang sebenarnya. Dan semoga kita dijadikan sebagai orang-orang yang memperoleh nikmat yang banyak, seperti dalam Q. S Al Kautsar ayat 1-2 : ‘Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.’ Walahu alam bi sawab.

(the 13’es_g!rl)

Benarkah Tuhan Marah Pada Manusia??

Pernahkah kita sebagai manusia berpikir atas apa yang telah terjadi akhir-akhir ini di negara yang kita pijak ini, Indonesia tercinta? Bencana demi bencana terjadi secara beruntun seperti petasan yang tidak pernah berhenti meledak. Mulai dari meledaknya bom di Bali, tragedi tsunami di Aceh dan Pangandaran, gempa di Yogyakarta, banjir lumpur di Lapindo dan yang saat ini masih terngiang di telinga kita yaitu banyak terjadinya kecelakaan, baik di darat, laut dan udara. Adam Air yang menghilang entah kemana. Garuda yang terbakar. Bahkan kapal laut pun terbakar.

Pernahkah kita berpikir ada apa di balik semua ini? Puluhan bahkan ratusan nyawa manusia dengan begitu mudah diambil oleh-Nya. Sidoarjo yang begitu hijau dan udaranya segar, dengan mudahnya Dia ubah menjadi lautan lumpur. Begitu juga sebaliknya, Lapindo yang asalnya bisa meraup keuntungan besar, dengan mudahnya Dia ubah menjadi perusahaan yang selalu jadi objek berita demo oleh masyarakat untuk diminta penggantian. Ya, dengan mudahnya Dia mengubah semua ini.


“Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia.”

(QS. Al-Mukmin : 68)

Pantaskah kita sebagai manusia sombong dan membangga-banggakan diri? Dia Maha Kuasa atas diri kita. Marilah kita bercermin bersama-sama! Apa yang sudah kita lakukan? Diberi sedikit saja kekuasan, kita merasa bangga dan menganggap orang lain rendah. Diberi sedikit saja kepintaran, kita merasa bangga dan menganggap orang lain bodoh. Diberi sedikit saja kekuatan, kita menindas yang lemah. Diberi sedikit saja kekayaan, kita merasa bangga dan tidak mau berbagi dengan orang lain.

Padahal, dengan begitu mudah bagi Allah mengambil semuanya. Orang pintar, orang kuat, orang kaya tidak ada artinya di hadapan Allah, kalau kepintaran, kekuatan dan kekayaannya itu tidak digunakan di jalan-Nya. Telah nyata di hadapan kita, bagaimana bencana-bencana yang terjadi itu bisa menelan banyak korban tanpa memandang bulu. Kita sebagai manusia sama, yang membedakan hanyalah tingkat keimanan dan ketakwaan. Masihkah kita berbangga hati dan sombong?


“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”

(QS. Al Hadid : 20)

Banyak orang yang mengklaim bahwa bencana yang terjadi saat ini adalah karena Allah swt Marah karena manusia sudah benar-benar jauh dari-Nya. Betapa tidak, kemaksiatan semakin marak. Korupsi sudah menjadi seni di kalangan penguasa. Berita kriminal sudah semakin menumpuk sehingga di TV sudah dijadikan berita terpisah, RCTI dengan Sergap-nya, SCTV dengan Buser-nya. Dengan alasan himpitan ekonomi, manusia menghalalkan segala cara. Mencuri dan membunuh rupanya sudah jadi hal biasa. Demi memuaskan nafsu, manusia menghalalkan pemerkosaan bahkan sodomi.

Yang menjadi pertanyaan, benarkah Allah Marah pada manusia? Mararh atas apa? Atas semua kelalaian manusia? Lalu, dimanakah makna Ar Rahman Ar Rahim, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang? Ya, bukankah Dia-lah Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Dia tidak butuh manusia. Sekalipun seluruh manusia tidak beriman kepada-Nya, Allah tidak akan pernah rugi menciptakan kenikmatan surga.


“...Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan (Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini).”

(QS. Muhammad : 38)

Memang benar di surat Adz Dzariyat ayat 56, Allah menerangkan bahwa Dia menciptakan manusia untuk beribadah, tapi Allah tidak haus dengan sembahan atau pengabdian manusia, hal ini diterangkan pada ayat setelahnya.


“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.”

(Qs. Adz Dzariyat : 56-58)

Adapun kita beriman dan mengabdi pada-Nya, itu hanya untuk keselamatan kita.


“Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”

(QS. Al Israa:15)

Jadi, masih pantaskah kita mengira kalau Allah Marah pada manusia? Tidak, Allah Tidak Pernah Marah pada manusia. Sekali lagi, secara tegas, sepatutnya kita mengatakan bahwa ALLAH TIDAK PERNAH MARAH PADA MANUSIA. Semua musibah, apapun itu bentuknya, adalah bentuk kasih sayang Allah pada manusia agar manusia kembali ke jalan-Nya. Tentunya, manusia yang mau kembali ke jalan-Nya adalah manusia-manusia yang mau berpikir.


“Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”

(QS : Al Baqarah : 269)

Tak sepatutnya kita berburuk sangka pada Allah. Be A Positive Thinking. Selama dengan positive thinking itu dapat menambah keimanan dan ketaqwaan kita pada-Nya. Akan tetapi, kita juga jangan terlena dengan anggapan semua bentuk kasih sayang Allah. Jika dengan menganggap bahwa semua itu adalah murka dari Allah kepada manusia, justru dapat menambah ketaatan kita pada-Nya, maka teruskanlah pikiran seperti itu. Anggaplah itu peringatan.

Satu benang merah yang menghubungkan dua pemikiran itu adalah bahwa Allah tidak pernah butuh manusia. Allah tidak butuh sembahan manusia. Itulah hubungan yang paling sulit diantara semua hubungan. Analoginya, kalo hubungan kita dengan atasan, sangat mudah bagi kita untuk mendapatkan perhatian dan simpati dari atasan. Kita cukup bekerja dengan baik dan menunjukkan loyalitas kerja kita. Secara otomatis, atasan kita pun akan memberikan nilai A, karena hasil kerja kita. Disadari atau tidak, hubungan yang terjalin antara atasan-bawahan pasti dilandasi dengan rasa saling membutuhkan. Itulah yang menimbulkan adanya toleransi.

Sementara hubungan kita dengan Allah adalah hubungan Pencipta dan Yang Diciptakan. Pencipta menciptakan sesuatu pasti ada tujuannya.


“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”

(QS. Al Mukminun : 115)


Apapun yang diciptakan tidak akan berguna apabila tidak sesuai dengan tujuan penciptaannya. Inilah initi dari semuanya. Kallah tidak pernah butuh manusia, Kita lah sebagai manusia yang harusnya berpikir apakah hidup kita berguna atau tidak? Apakah sudah sesuai dengan tujuan penciptaan kita? Karena sesuatu yang tidak berguna pasti akan dibuang jauh-jauh.

Analogi sederhananya, kita membuat toilet pasti ada tujuannya, yaitu untuk menampung kotoran manusia. Jika toilet itu, tidak sesuai dengan tujuan penciptaannya, maka tidak akan disebut toilet. Oleh karena itu, toilet rela diduduki orang setiap harinya untuk buang air besar atau buang air kecil agar sesuai dengan tujuan penciptaanya. Sebagai penghargaan kesesuaian itu, maka toilet ditempatkan di WC. Beda cerita lagi dengan toilet yang tidak bisa berfunsi sesuai tujuan penciptaannya, pasti akan dibuang oleh pemiliknya.

Kiranya, analogi di atas dapat menggambarkan hubungan kita dan Sang Kholiq. Selagi nafas ini berhembus, selagi mata masih bisa melihat keagungan-Nya, selagi mulut masih bisa menyebut asma-Nya, selagi telinga masih bisa mendengar ayat-ayat-Nya marilah kita mencoba bermuhasabah tentang diri kita. Tidak cukup jelaskah bentuk peringatan dari Allah sebagai kasih sayangnya agar kita mau berpikir dan kembali pada jalan-Nya.

Dengan mudahnya Allah mengambil ribuan nyawa saudara-saudara kita dengan berbagai musibah. Pernahkah kita berpikir kapan giliran kita untuk dipanggil? Bekal apa yang sudah kita bawa? Sudahkah hidup ini sesuai dengan tujuan penciptaan-Nya? Kalau belum, pantaskah kita mendapatkan tempat pengembalian yang layak? Musibah yang terjadi hendaklah bisa menggerakanotak dan nurani kita untuk mau berpikir. Jangan sampai kita menyesal di saat penyesalan itu tiada artinya sama sekali.


“Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang shaleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan". Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? maka rasakanlah (adzab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang dzalim seorang penolongpun. "

(QS. Faathir : 37)


Mati adalah sesuatu yang pasti. Musibah yang terjadi hendaknya menjadi cambuk agar kita mau berubah menjadi insan-insan yang berkualitas tinggi, yang mampu membebaskan kemelut bangsa ini menuju ke dalam pencerahan yang hakiki demi bekal di hari pertanggungjawaban nanti. Dimana setiap orang datang sendiri-sendiri untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya, sebagaimana dia waktu dilahirkan dalam keadaaan sendiri-sendiri. (el...)


“Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami kurniakan kepadamu.....”

(QS Al An’am : 94)