"Jadilah pemimpi yang mendunia, yang masih menapakkan kaki di bumi"
"Batas antara MIMPI dan GILA adalah tali kekang kesadaran"

Senin, 14 Februari 2011

Menghijaukan Bumi Coklat

Hijau! Go Green!
Sepertinya kata tersebut adalah sesuatu yang terus ada dalam taman khayalku. Sebuah lingkungan hijau, penuh pepohonan dan udara segar tanpa polusi adalah mimpi yang terus aku kejar. Menghantui pikiranku, semakin terasa dekat di depan mata. Namun sayangnya, aku tidak melihat itu di daerahku. Setiap pagi hari aku terbangun yang aku cium bukanlah udara segar yang kaya Oksigen, tetapi bau busuk sampah. Sejauh mata memandang, bukanlah hamparan rumput yang hijau tapi dedaunan yang telah berubah warna menjadi coklat. Ya, aku menyebut daerahku sebagai "bumi coklat".

Mengapa harus bumi coklat?
Aku tinggal di sebuah desa (atau lebih tepatnya kampung) yang rawan banjir di Bandung. Ya, aku tinggal di Dayeuh Kolot Kecamatan Bale Endah, Bandung. Rumahku persis di pinggir Sungai Citarum. Sungai? Masih pantaskah Citarum disebut sebagai sungai? Bagiku Citarum tidak lebih dari lintasan sampah dan terkadang jadi saluran air limbah sesaat. Airnya surut, terlihat dangkal. Ketika airnya pasang pun tidak menentu kadang coklat, merah, hijau atau biru. Kalau tidak ditambah dengan bau menyengat dan asap yang mengepul, sepertinya Citarum sudah jadi objek wisata, menandingi telaga warna :P)

Yang lebih parah lagi adalah ketika hujan turun, di saat semua orang berbahagia karena benih yang mereka tanam akan tumbuh menjadi tanaman hijau dan segar, apa yang aku rasakan justru sebaliknya. Hujan akan merenggut semuanya. Hujan akan menjelma jadi banjir yang akan menyapu tanaman hijau di taman rumahku. Menyulapnya menjadi taman yang dipenuhi lumpur berwarna coklat. Itulah sebabnya aku menamai daerah ku sebagai bumi coklat. Bumi yang dipenuhi oleh lumpur mengering. Ketika banjir surut semua tanaman hijau pun ikut mengering lalu mati.

Hijau bukanlah mimpi.
Seiring matinya tanaman-tanaman yang ada di taman rumahku, aku pernah merasa semangat ku juga ikut mengering bersama dedaunan itu. Mimpiku mulai terseok, tersapu oleh gelombang rutinitas yang mengekangku. Sampai akhirnya aku merasa tertampar oleh 3 pertanyaan ini :
Kalau bukan DISINI, dimana lagi?
Kalau bukan KITA, siapa lagi?
Kalau bukan SEKARANG, kapan lagi?
Bukan tanpa alasan Tuhan menempatkan aku disini, melainkan untuk berbuat sesuatu.
Menghijaukan bumi haruslah dimulai dari satu titik yang pertama kali tertangkap oleh pandangan mata kita.
Menghijaukan bumi haruslah dimulai dengan menghijaukan pikiran kita. Menanamkan dalam jiwa kita bahwa bumi ada di tangan kita. Menunda melakukan perbaikan itu artinya kita membiarkan kerusakan terjadi lebih lama lagi. So, just do it now!

Saat ini, mungkin semuanya masih terdengar mimpi, tapi mimpi bukan berarti tak bisa diraih. Dan mimpiku adalah menghijaukan bumi coklat ini. Tulisan ini adalah langkah awal ku, meskipun dengan tertatih-tatih aku ingin mencoba bangkit dan berdiri untuk memberitahukan kepada semua orang bahwa ada bagian kecil bumi yang harus diperbaiki juga. Aku juga ingin menyegarkan mataku dengan pemandangan hijau, aku juga ingin menghirup udara segar. Tapi yang bisa aku lakukan dengan kedua tanganku ini adalah hanya menyemai benih setiap waktu, dengan satu harapan benih itu tumbuh menjadi tanaman hijau sebelum banjir datang dan menyulap lagi warnanya menjadi coklat.

Terkadang aku iri pada kawasan Dago dan sekitarnya. Semua tertata dengan rapih bahkan setiap hari Minggu dikukuhkan sebagai "Car Free Day". Sementara bumi coklat ku seakan terabaikan. Pengerukan Citarum yang dijanjikan pemerintah pun, status nya masih terdengar sebagai angin surgawi yang masih belum terealisasi. Bantuan yang sering kami terima pasca banjir adalah sembako dan beberapa pakaian bekas. Tidak ada yang mengirimi kami pupuk atau benih untuk menata lingkungan kami.