"Jadilah pemimpi yang mendunia, yang masih menapakkan kaki di bumi"
"Batas antara MIMPI dan GILA adalah tali kekang kesadaran"

Selasa, 19 Juli 2011

With Great People!



Banyak hal yang telah berubah.. Kesempatan demi kesempatan datang bergantian, seperti sebuah sarana yang terus..dan terus membuat potensiku melebar

"Kuatkan sayap ini dan izinkanlah aku pergi, jauh tinggi,,,, dan darisana aku bisa melihat sesuatunya secara kompleks dari paradigma yg berbeda"

Senin, 18 Juli 2011

Sharing Ibu Melly Kiong

Awalnya, saya itu tidak suka dengan seminar-seminar parenting. Kenapa? Karena terkadang posisi saya yang masih sebagai anak dan belum menjadi orang tua, bisa langsung membandingkan apa yang disampaikan oleh pembicara dengan apa yang dilakukan oleh orang tua saya. Bahkan tak jarang, saya langsung protes sama orang tua saya : “Mah, Pak, seharusnya mendidik saya itu begini-begitu..bla..bla..bla...”. Tanpa saya sadari bahwa saya pun suatu saat pasti jadi orang tua.

Tapi apa yang disampaikan Ibu Melly Kiong kemarin mematahkan paradigma saya selama ini. Cara penyampaian Ibu Melly Kiong yang dengan kesederhanaan nya dan contoh praktis dengan anaknya sendiri, yaitu Mathew dan Julian, membuat sharing kemarin menjadi LUAR BIASA. Berikut beberapa hal yang tercatat dalam memori saya :

1. Menarik sekali, ketika kita semua sebagai audiens bisa berbicara dengan 2 peran, yaitu sebagai anak dan sebagai orang tua. Karena dari situlah kita mengetahui bahwa sebagian besar perilaku anak itu disebabkan karena pola asuh orang tua. Anak manja, kurang inisiatif disebabkan karena orang tua yang terlalu sayang pada anaknya. Anak susah diatur karena orang tua yang diktator dan banyak aturan Hidup para anak! J J Hal tersebut disebabkan karena orang tua punya harapan pada anaknya, sedangkan harapan itu kadang tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Seperti yang dialami Ibu Melly Kiong, beliau mengharapkan anaknya jadi dokter, tapi Mathew justru ingin jadi tukang roti. Disinilah prinsip Pak Martin digunakan, orang tua harus jadi aktor pendukung buat anaknya.

2. Lewat sebuah permen, Ibu Melly Kiong pun mengajarkan bagaimana para orang tua mendidik anaknya agar anak mandiri. Ketika seorang anak datang pada orang tuanya minta dibukakan permen? Apa yang dilakukan oleh orang tua? Pasti langsung mem-buka-kan nya! Tapi sadarkah bahwa hal tersebut bisa membuat anak tidak mandiri, terus-terusan dia akan meminta bantuan untuk dibukakan permen pada orang tuanya. Sebagai anak, kemarin pas di Kopdar HRE, kita diajari membuka permen lhooo.. :P Thanks Bunda Melly!

3. Memo ala Ibu Melly Kiong.

Yes, saya setuju pada judul buku Ibu Melly Kiong : “Siapa bilang Ibu Bekerja Tidak Bisa Mendidik Anak Dengan Baik” Ada berjuta cara untuk menyampaikan kasih sayang pada anak. Salah satunya dengan apa yang telah dilakukan oleh Ibu Melly Kiong. Beliau suka menulis pesan di buku untuk anaknya. Bahkan terkadang diselipi juga teka-teki, sehingga anaknya pun merindukan nya setiap hari. Satu hal lagi, Ibu Melly Kiong membelikan anaknya pensil yang bisa diserut, sehingga jika pensilnya tajam, anaknya tahu bahwa ibunya sudah menyerut pensilnya setiap hari. Hmmhhh...sweet sekali! J

4. Surat Perjanjian.

Kreatif! Jarang sekali orang tua melibatkan anaknya untuk membuat aturan-aturan. Kadang para orang tua terjerumus menjadi orang tua yang : “Pokoknya...” “Banyak makan asam garam..” Padahal dengan melibatkan anak, anak akan merasa dihargai dan konsisten dengan apa yang telah dijanjikannya. Ibu Melly Kiong menulis semuanya dalam bentuk surat perjanjian dengan anaknya, kemudian ditandatangani.

5. Musium Kasih Ibu.

Keren! Setiap moment diabadikan oleh Ibu Melly Kiong. Mulai dari gigi anaknya yang lepas, tiket bioskop, tiket perjalanan liburan, kartu ucapan. Hmmhh.. hal sepele yang terkadang tidak kita pikirkan. Dengan adanya musium itu, justru kenangan akan terpatri lebih kuat. Salut buat Ibu Melly Kiong.

Mudah-mudahan suatu saat saya bisa menjadi ibu yang baik bagi anak-anak saya (^_^)..

How To Be NICE!

Tidak sampai hanya mengingatkan pada indahnya “The Power Of Nice”. Kopdar milis HRE kemarin juga memberikan cara agar kita bisa bersikap NICE. Super mega special thanks buat Pak Anthony Dio Martin, yang meskipun dalam kondisi suaranya kurang baik, tetap semangat membagikan tips agar kita bisa bersikap NICE :

1. Latihlah otot-otot kita untuk selalu berbuat kebaikan

Belajarlah untuk melihat indahnya hidup ketika kita melakukan satu kebaikan. Ya, setiap orang terkadang selalu fokus untuk mencari kebahagiaan, tanpa kita sadari bahwa sebenarnya kebahagiaan itu ada ketika kita memberi kebahagiaan untuk orang lain.

2. Jadilah Aktor Pendukung yang Baik

Hmmmhh... tips kedua ini nih yang membuat saya kembali mengevaluasi diri saya sendiri. Setiap orang pasti memiliki keinginan untuk menjadi Sang Bintang ataupun Sang Juara. Akan tetapi, tidak semua orang memahami bahwa kita tidak akan menjadi bintang semuanya. (langit pasti penuh kalau kita semua jadi bintang, hehehe). Seperti layaknya dalam sebuah film, pasti ada yang berperan sebagai aktor utama dan aktor pendukung. Kadang bukan kita lah bintang nya, tapi tetaplah bersikap NICE dengan menjadi aktor pendukung. Ingat! Film juga gak akan ramai lho kalau tidak ada aktor pendukung, aktor utama pun tidak ada apa-apanya lhoo kalau tidak ada aktor pendukung (hehe...ya iyalah, masa dia main film sendirian, gak seru khan?).

Satu hal yang penting :

“Alloh SWT Tidak Pernah Tidur untuk melihat sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan. Berbuatlah kebaikan, bukan hanya untuk mendapat pujian atau pengakuan orang lain, tapi berbuatlah kebaikan untuk mengaharap ridho-Nya”

Jangan khawatir kalau Alloh SWT berkata piala itu jatah kita, pasti gak akan kemana kok, buktinya kata Pak Martin aktor pendukung pun dapat penghargaan. (^_^).

3. Kata bijak dari Ibu Theresa : “Jangan biarkan orang datang menemuimu tanpa menjadi lebih baik dan lebih bahagia ketika ia meninggalkanmu”

Minggu, 17 Juli 2011

Makna NICE

Jakarta mengingatkan aku akan arti sebuah kata, yaitu “N-I-C-E”
Aku ingin sharing 2 kisah hebat yang aku alami, yang membuat aku berhenti sebentar dari rutinitas dan bertanya balik pada diri aku sendiri..

#Kisah Pertama#

Jakarta, 15 Juni 2011
Untuk pertama kalinya, aku menginjakan kaki di Pekan Raya Jakarta (Jakarta Fair). Bersama Papa Damai dan sahabatku, kami menikmati indahnya keramaian PRJ malam itu. Kejadian luar biasa itu terjadi ketika kami makan nasi goreng. Dua orang anak kecil menghampiri kami sambil membawa majalah, buku mewarnai dan stiker.

Sepertinya mereka kakak beradik, kakaknya laki-laki dan adiknya perempuan. Dengan muka polos nya, mereka menghampiri Papa Damai :
"Pak, majalah nya Pak!"
Kami hanya melempar senyum pada dua anak kecil itu. Tapi jujur saat pertama kali melihat sinar mata mereka berdua, perasaan ku tak menentu, tiba-tiba terbayang seorang sahabat lama yang menjadi roket semangatku sampai saat ini. Dia juga hidup di jalanan tapi semangatnya begitu besar.


Kami menyelesaikan makan kami. Selesai makan Papa Damai mencari dua anak kecil itu dan memanggil nya.
"Dek, jualan apa?
"Majalah Pak.. Ada Dora, ada naruto....de el el'
"Ada Princess? (karena Damai suka Princess)"
"Ada pak"
"Darimana Dek, kok malem2 ada disini? Gak sekolah? Mana orangtuanya?"
"Dari........ (mereka menyebut salah satu tempat, aku lupa lagi nama tempatnya, yang jelas kata Papa Damai tempatnya sangat jauh dari tempat kami makan itu), Kan sekolah nya tadi siang Pak" jawab kakaknya.


Dan tahukah?? Dengan muka polos adik perempuan nya yang masih kecil ngomong
"Ayah udah gak ada, Pak" polos dan sambil tersenyum manis
Sementara kakaknya, hanya diam penuh arti sambil melihat adik perempuannya
Aku tidak kuat melihat pemandangan itu, amat sangat mengharukan...Pandangan kakak nya itu amat sangat penuh arti, terlihat beban yang amat mendalam. Anak sekecil itu harus menanggung kerasnya hidup di jalanan. Tapi yang lebih membuat aku tidak kuat menangan tangis adalah aku ingat pada seseorang yang amat sangat berjasa dalam hidupku sampai saat ini. Seorang anak jalanan yang meroketkan potensiku hingga aku bisa sampai seperti ini.


Ya Alloh SWT, aku merasa menjadi orang yang tidak pandai bersyukur pada-Mu!
Aku bisa sampai seperti ini adalah karena mereka, tapi apa yang telah aku lakukan untuk mereka?? Aku hampir melupakan mereka 4 tahun terakhir ini. Yang menjadi fokus perhatian aku sekarang justru kompetisi, kompetisi dan kompetisi. Pokoknya aku harus jadi juara. Padahal 6 tahun yang lalu, sahabat kecilku, yang menggantungkan hidupnya di jalan itu mengajarkan bahwa hidup bukan hanya sekedar kompetisi. Hidup adalah sebuah arti dimana kita harus mampu mempunya nilai dan perlu sebuah ketulusan untuk mendapatkan nilai.

“Wake up, Elen! Bukan sekedar juara yang harusnya kamu raih, tapi sebuah nilai yang mengandung arti ketulusan!” Itulah pesan sahabat kecil aku.

Doaku pada malam itu adalah :

“Ya Alloh SWT semoga engkau limpahkan kekuatan dan keberkahan pada mereka berdua. Terima kasih, Engkau telah hadirkan mereka malam itu dan Engkau telah ingatkan aku agar tetap berada di jalan-Mu! Ampuni atas segala khilafku selama ini yang telah salah dalam menilai hidup. Dunia ini begitu fana, hanya ridho-Mu lah yang harusnya aku harapkan, bukan yang lain..”

#Kisah Kedua#

Jakarta, 15 Juli 2011

Kali ini akhirnya aku bisa datang pada acara Kopi Darat Milis HR Excellency. Selain karena ingin bertemu dengan orang-orang luar biasa, yang selama ini hanya bisa aku lihat buah pemikirannya lewat email, aku amat sangat tertarik akan sebuah kalimat yang diusung sebagai tema kopdar, yaitu : “The Power of Nice”

Wow, luar biasa! Pesan Pak Anthony Dio Martin benar-benar menggugah pikiranku. Semakin aku tertegun dan merenungi kembali arti hidup ini. Terkadang situasi dan kondisi yang penuh dengan persaingan membuat kita lupa untuk bersikap “NICE”. Target yang harus dicapai, darah juara, iming-iming hadiah yang dijanjikan, membuat kita menganggap semuanya menjadi persaingan dan kompetisi. Tidak ada yang salah dengan kompetisi dan persaingan, yang perlu kita perhatikan adalah konsistensi kita untuk tetap mempertahankan sikap NICE dalam panasnya persaingan itu.

Aku akan coba ceritakan kembali kisah yang disampaikan Pak Anthony Dio Martin. Kisahnya membuat aku tertunduk, menutup mata dan berkata pada diri sendiri (astagfirulloh, apakah aku pun mungkin berbuat yang sama di tengah kondisi persaingan ini? Ampuni aku Ya Alloh SWT!)

1. Cerita Atlet Lari

Ada seorang atlet lari yang akhirnya kalah dalam sebuah pertandingan. Dia amat sangat kesal dan marah karena dia menjadi juara. Bahkan dia berkata rasanya ingin sekali memukul pemenangnya jika kelak bertemu. Sang pelatih yang melihatnya sedang marah-marah datang menghampirinya.

“Daripada kamu marah-marah mari kesini, akan kutunjukkan sesuatu”

Sang pelatih pun membuat sebuh garis dan bertanya: “Jika ini garis musuhmu, maka bagaimana caranya agar garis ini terlihat lebih pendek?”

Atlet itu pun tersenyum dan menjawab : “Ya, gampang saja! Tinggal saya hapus garisnya, maka garis ini pun akan jadi pendek!”

Sang pelatih tersenyum dan menjawab : “Caramu tidak salah, tapi tahukah bahwa ada cara yang lebih tepat agar garis itu terlihat pendek selain menghapus atau merusaknya. Caranya sangat gampang, yaitu kamu tinggal membuat garis yang panjaaaaaaaaaaaaaaang sekali tanpa batas, maka garis ini pun akan terlihat pendek tanpa harus kamu merusaknya.”

Waktu mendengar kisah itu, kembali aku bertanya pada diriku, apakah aku termasuk orang yang merusak garis orang lain atau fokus membuat garis yang lebih panjang? Ya, tidak bisa dipungkiri dalam kehidupan ini, apalagi di tengah lingkungan kerja, persaingan dan kompetisi terasa panas, kadang kita menganggap semuanya musuh sehingga energi yang keluar pun adalah energi negatif untuk meghancurkan musuh. Padahal, ada yang kita lupa! Kita adalah satu perusahaan. Keberhasilan seseorang adalah keberhasilan kita juga. Rumusnya adalah :

Keberhasilan seseorang = keberhasilan team = keberhasilan perusahaan = keuntungan perusahaan = kembali pada income kita =

kita ikut merasakannya juga kan?

So, keberhasilan orang lain = keberhasilan kita

Subhanalloh! Aku sadar bahwa aku bukanlah orang yang super, yang mampu konsisten untuk tidak merusak garis orang lain, tapi setidaknya ketika persaingan semakin panas, bantu aku untuk selalu diingatkan bahwa ada sikap yang lebih mulia dengan FOKUS UNTUK MEMBUAT GARIS YANG LEBIH PANJANG TANPA HARUS MERUSAK GARIS ORANG LAIN, dan selalu ingatlah rumus di atas! J

2. Cerita Petani Labu

Di sebuah desa ada banyak petani labu. Mereka berkompetisi untuk mendapatkan labu yang besar. Lalu, ada seorang petani yang mempunyai bibit yang bagus. Dia selalu membagi-bagikan bibit unggulnya kepada para tetangganya. Anaknya lalu bertanya : “Pak, kenapa Bapak membagi-bagikan bibit unggul kepada orang lain? Bukankah dengan membagikan bibitnya, nanti Bapak kalah karena orang lain pun bisa mendapatkan labu yang lebih besar.” Bapak nya hanya tersenyum : “Mari Nak, Bapak ajarkan sesuatu tentang ilmu pertanian. Tahukah kamu jika kita memberikan bibit unguul pada tetangga sebenarnya sangat menguntugkan kita. Labu yang besar itu dihasilkan dari hasil penyerbukan silang dari pohon lain melalui angin. Lalu, apa jadinya jika labu di sekitar kita jelek? Maka, labu yang dihasilkan oleh kita pun jelek.”

Wow, cerita yang luar biasa dan inspiratif! Terkadang kita merasa, semua keahlian kita adalah senjata rahasia yang tidak perlu orang lain tahu. Dengan orang lain tahu, justru kita kalah. Itu prinsip yang salah! Sadarkah kita bahwa dengan membagikan potensi dan keahlian yang kita miliki, sehingga membuat orang lain bertambah potensinya justru akan semakin mempermudah pekerjaan kita.

Bayangkan saja, jika kita share pekerjaan kita maka akan ada orang lain yang mampu melakukan pekerjaan kita itu, maka akan membuat kita semakin mudah dan tidak stress sendirian. Aku bersyukur karena prinsip di perusahannku adalah :

I Learn, I Grow, I Share!

3. Cerita Anak Kecil

Diceritakan bahwa ada seorang anak kecil yang diramalkan akan meninggal pada hari yang telah ditentukan. Sejak dia tahu akan ramalan tersebut dia bertekad untuk selalu berbuat baik, sekecil apapun itu. Dan ternyata benar anak kecil itu meninggal sesuai dengan waktu yang telah diramalkan. Sama persis. Tapi kebaikan nya membuat dia lebih berarti dan setiap hari adalah kesan baik bagi orang lain.

Yes, terkadang kita tidak dapat mengubah takdir, tapi pilihan hidup ada di tangan kita. Sikap NICE tidak menjanjikan kita untuk menjadi orang yang sukses dan kaya raya, tapi dengan bersikap NICE kita akan menjadi BAHAGIA.

Apalagi kita tak pernah tahu apa yang menjadi takdir kita ke depan. Siapa tahu sebenarnya kita ditakdirkan menjadi seseorang yang sukses, tapi karena kita tidak bersikap NICE, orang lain jadi tidak respect kepada kita.

Intinya, bersikaplah dengan tulus, maka kita akan rasakan kebahagiaan yang sessungguhnya.

4. Cerita penulis Charles Dickens

Waahhh..klo cerita Charles Dickens ini, pas bioskop dimulai (lampu digelapkan dan film dimulai), aku sudah terkesima. Kata pengantar dari Pak Anthony Dio Martin tentang film itu saja, aku sudah membayangkan pasti film ini akan memutarkan satu kisah yang bisa mengingatkan akan kisah 6 tahun lalu.

Charles Dickens adalah seorang penulis yang sedang stress karena kehilangan ide. Asalnya bagi dia menulis adalah untuk mendapatkan uang, uang dan uang. Kemudian suatu hari dia stress karena dia terbelit hutang. Dengan kondisi stress seperti itu jangankan ide bermunculan yang ada malah stress. Sampai akhirnya dia menyusuri jalan di tengah malam dan dia bertemu dengan anak-anak kecil yang bekerja di pabrik roti. Dia teringat akan masa kecilnya dulu dan dia ingat pula keluarganya, dia tidak ingin hal tersebut terjadi pada keluarganya. Dia merenungi kembali arti hidupnya hingga dia pun akhirnya mendapatkan kembali idenya untuk menulis. Sungguh, ini benar-benar The Power of Nice!

Kejadian Charles Dikens ini mengingatkan aku akan sebuah pengalaman 6 tahun yang lalu. Aku tidak pernah menceritakan pengalaman ini pada siapapun, termasuk pada Omega, sahabat 9 tahun ku. Kenapa? Karena tokoh utama dalam cerita ini lah yang memintaku untuk tidak menceritakannya pada siapapun. Tapi, sekarang, aku yakin bahwa dia yang berada nun jauh disana, akan ikhlas jika pengalaman ini aku ceritakan. Semoga menginspirasi semuanya!

6 tahun yang lalu, aku masih siswa SMK dengan Jurusan Analis Kimia. Dari masuk SMK, aku memang sudah suka menulis, beberapa perlombaan sering aku ikuti, kadang menang dan kadang kalah juga, namanya juga pertandingan J Sampai akhirnya ada satu event berharga di sekolah kami, yaitu Lomba Karya Ilmiah Siswa. Lomba Karya Ilmiah ini berjenjang mulai dari tingkat Kota, Propinsi dan Nasional yang akan diselenggarakan di Bali. Semua siswa bersemangat untuk mengikuti ajang bergengsi itu, termasuk aku. Pilihan Lomba Karya Ilmiah itu ada 3, yaitu Teknologi Tepat Guna (TTG), Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Hmmh..aku bingung harus memilih apa. Yang ada dalam pikiranku waktu itu adalah : Aku harus menang! Aku harus masuk tingkat Nasional! Aku harus ke Bali! Semakin aku berpikir keras, maka semakin aku tidak mendapatkan ide. Sampai akhirnya pada saat pulang sekolah naik angkot, ada seorang pengamen. Aku kaget karena ternyata seorang pengamen itu adalah teman SD-ku. Aku turun dari angkot dan ngobrol kesana-kemari dengannya. Ternyata dia tidak melanjutkan sekolah dan hidup dengan mengamen di jalanan.

Aku tertegun mendengar ceritanya. Sahabat SD yang ku kenal baik, teman main petak umpetku harus hidup dan tinggal di jalanan. Yang aku salut dari dia adalah semangatnya. Dia tidak pernah memperlihatkan wajah mengeluh atau susah. Justru dia bercerita bahwa dia beruntung hidup di jalanan. “Bagaimana mungkin?” pikirku.

“Dalam kerasnya hidup di jalanan aku tahu makna kehidupan” Aku kagum padanya. Aku malah malu pada diri sendiri, aku yang berseragam sekolah saja, belum tentu memikirkan arti kehidupan. Aku masih manja minta uang jajan pada orang tua, tapi dia malah memikirkan adik-adik jalanannya.

It’s GREAT IDEA!! Akhirnya aku dapat ide untuk mengambil pilihan IPS pada Lomba Karya Ilmiah Siswa denga tema “Efektifitas Pembinaan Anak jalanan”. Perjuanganku ternyata tidak berhenti disana. Ketika aku menyampaikan ideku untuk mengambil tema anak jalanan pada guruku, beliau tidak menolak ideku, tapi memberi pertimbangan bahwa ideku itu klise. Masalah anak jalanan kan masalah yang tak ada solusinya. “Mending cari ide lain saja, ide di TTG atau IPA saja, SMK kita kan jurusan Analis Kimia”

Aku yang masih ABG pun akhirnya sedikit goyah. Sempat terlintas, iya ya bagaimana aku menang kalau mengambil tema klise ini?? Waktu itu yang ada dalam pikiranku menang, menang dan menang. Akhirnya aku sempat mencari ide lain yang berhubungan dengan IPA dan TTG, tapi akhirnya?? Ide-idepun mandeg. Dan saat pulang kerja aku ketemu lagi sama sahabat SD-ku, dia bertanya : “El, gimana? Jadi ngambil tema anak jalanan?”. Dengan nada yang agak berat aku katakan “Kayaknya aku ganti tema”. Aku melihat raut kecewa pada sahabatku itu tapi dia tetap tersenyum, “Harusnya bukan sekedar juara yang harusnya kamu raih, tapi sebuah nilai yang mengandung arti ketulusan. Aku hanya berharap dengan kamu ngambil tema ini, akan ada orang lain yang tahu dunia lain dari anak jalanan. Nanti aku ajak kamu ke suatu tempat”

Aku diajak ke beberapa Rumah Singgah oleh sahabatku itu. Aku diajak ke Depot Kreasi Seni Alm. Harry Roesli. Aku kagum. Disana ada seorang anak jalanan yang mampu memainkan biola begitu indahnya. Kemudian saya diajak ke Rumah Singgah GANK (Gerakan Anti Narkoba dan Kriminalitas) yang berada di Jl. Gatot Soebroto - Bandung. Ternyata kemiskinan malah membuat anak jalanan itu terjerumus pada satu kebiasaan “ngelem” = menghisap lem Aibon. Aku merinding melihatnya. Dan di rumah singgah itu aku melihat bagaimna perjuangan seorang Bapak separuh baya mengatasi anak-anak yang suka ngelem. Luar biasa! Anak yang kecanduan lem itu akhirnya bisa menciptakan kreasi, mengubah barang rongsokan menjadi hiasan mahal.

“Itulah dunia anak jalanan yang harusnya orang berpendidikan tahu, bahwa mereka juga punya semangat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Sekarang terserah kamu! “ Sungguh, pengalaman berharga dalam hidupku.

Aku malu jika hanya memikirkan kemenangan semata! Akhirnya aku bertekad, pokoknya aku mau tema IPS, apapun reaksi sekolah dan guru-guru. Beruntunglah, akhirnya aku mendapat respons baik dari guru PPKN ku (Bu Tini Sugiatini). Pesanku padanya : “JADILAH SCIENTIST YANG HUMANIST!!”

Lomba Karya Ilmiah Kota Bandung pun dimulai! Ada seorang siswa SMK dengan jurusan Analis Kimia mengambil tema Anak Jalanan. Waktu presentasi di hadapan juri aku pun nangis, aku menceritakan kisah temanku dan ketika ditanya alasan kenapa aku mengambil IPS, aku jawab dengan kalimat sakti dari guru PPKN ku tadi. Aku tidak menyangka bahwa akhirnya aku lolos ke tahap selanjutnya. Aku menceritakannya pada temanku dan mengucapkan terima kasih atas bantuannya, tapi tahukah reaksinya? Dia sangat marah! “Kenapa kamu berterima kasih, kamu menang karena kamu punya nilai, tapi lain kali jangan bawa-bawa namaku ya!”

Yes, sejak itu aku berjanji aku tidak akan menceritakan dia sampai hari ini aku melanggarnya! :P

Aku lolos ke tingkat Propinsi, lalu ke tingkat Nasional. Berbagai penelitianku banyak dibantu oleh sahabatku itu. Tidak mudah untuk melakukan penelitian pada anak jalanan, karena sikap mereka itu keras, mereka tidak mau dijadikan objek penelitian. Kalau bukan dibantu oleh sahabatku, tidak mungkin aku bisa menikmati indahnya Pulau Dewata dan mendapat juara III. Thanks, my rocket! Aku memanggilnya roket karena dialah yang meroketkanku. Dimanapun kamu berada sekarang, semoga Alloh SWT tetap melindungimu.

Itulah pengalamanku!

Di situasi kerja seperti sekarang ini, dengan kondisi persaingan yang panas, kadang aku terseret menjadi orang yang menghapus garis orang lain, aku terseret jadi petani yang gak mau membagi benih labu, aku terseret jadi anak yang stress karena aku tahu hidupku kayak gitu2 aja. Bahkan akhir-akhir ini aku lupa pada sahabat kecilku di jalanan yang telah menjadikan aku seperti ini.

Thanks HR Excellency yang telah mengingatkan aku pada kejadian berharga tersebut! Aku lupa bahwa segala sesuatu haruslah dimulai dengan sebuah ketulusan. Bukan menang yang harus dicari! Bukan jadi juara, tapi memberi nilai yang mengandung arti ketulusan! Keep to be nice!

Kamis, 14 Juli 2011

Best Moment in my life

Metamorfosis Kupu-Kupu ini merupakan sebuah kejujuran dari hatiku. Sebuah perjalanan panjang! Siapa sangka seseorang yang asalanya seorang pemalas ini, ditegur oleh Alloh SWT dengan anugerah-Nya dua kali.


Terima kasih Ya Rabb..
atas setiap nikmat yang Engkau berikan padaku..
Ya Rahman Ya Rahim
Ku berserah padamu



BINTANG : Antara Tujuan atau Anugerah???
















Menjadi bintang bukanlah tujuan, yang penting itu adalah sinarnya mampu menerangi semesta raya

Kalimat itu aku tulis dalam secarik kertas kuning dan aku tempelkan di komputer kerjaku. Tujuannya hanya satu, agar semua makna dari kalimat itu "nempel". Tidak hanya dalam pikiranku tapi benar-benar dalam jiwaku. Entahlah..akhir-akhir ini rasanya kok jadi bias, aku jadi bertanya-tanya dalam hatiku : "Sebenarnya untuk menjadi bintang itu tujuan atau bukan?"

Entahlah..
Situasi dan kondisi lah yang membuatnya menjadi kabur!
Orang-orang begitu ramai, mengejar untuk menjadi bintang, aku juga bukan seseorang yang munafik yang tidak ikut-ikutan mengejarnya. Tapi, hati kecilku selalu bicara dan selalu mempertanyakan "Apakah menjadi bintang itu tujuan?"

Hati kecilku berkat : "Hey, berhentilah untuk mengejar menjadi bintang! Sungguh, itu bukanlah tujuan!"

Ya, menurutku menjadi bintang bukanlah tujuan, menjadi bintang adalah anugerah.
Kita tak perlu mengejar hanya untuk jadi bintang. Kita akan layak disebut bintang, ketika kita mampu bersinar. Ketika kita mampu membawa gelap menjadi indah, menghiasi pekatnya malam.

Karena jika menjadi bintang adalah tujuan, maka apa jadinya kita jika bintang itu tak pernah ada! Kita tak akan bersinar..

Sebutan BINTANG hanya pantas dikatakan oleh orang lain yang melihat sinar kita. Jadi, bersinarlah! Dengan sinar yang penuh ketulusan.

Alloh SWT tidak pernah tidur, ridho-Nya lah yang menjadi tujuan akhir kita. Jika kita disebut BINTANG itu bukan karena usaha kita, tapi karena izin-Nya, sebagai suntikan semangat agar kita bisa menjadi lebih baik.

Sekali lagi aku meyakinkan diri bahwa menjadi bintang bukanlah tujuan, tapi anugerah.

Senin, 14 Februari 2011

Menghijaukan Bumi Coklat

Hijau! Go Green!
Sepertinya kata tersebut adalah sesuatu yang terus ada dalam taman khayalku. Sebuah lingkungan hijau, penuh pepohonan dan udara segar tanpa polusi adalah mimpi yang terus aku kejar. Menghantui pikiranku, semakin terasa dekat di depan mata. Namun sayangnya, aku tidak melihat itu di daerahku. Setiap pagi hari aku terbangun yang aku cium bukanlah udara segar yang kaya Oksigen, tetapi bau busuk sampah. Sejauh mata memandang, bukanlah hamparan rumput yang hijau tapi dedaunan yang telah berubah warna menjadi coklat. Ya, aku menyebut daerahku sebagai "bumi coklat".

Mengapa harus bumi coklat?
Aku tinggal di sebuah desa (atau lebih tepatnya kampung) yang rawan banjir di Bandung. Ya, aku tinggal di Dayeuh Kolot Kecamatan Bale Endah, Bandung. Rumahku persis di pinggir Sungai Citarum. Sungai? Masih pantaskah Citarum disebut sebagai sungai? Bagiku Citarum tidak lebih dari lintasan sampah dan terkadang jadi saluran air limbah sesaat. Airnya surut, terlihat dangkal. Ketika airnya pasang pun tidak menentu kadang coklat, merah, hijau atau biru. Kalau tidak ditambah dengan bau menyengat dan asap yang mengepul, sepertinya Citarum sudah jadi objek wisata, menandingi telaga warna :P)

Yang lebih parah lagi adalah ketika hujan turun, di saat semua orang berbahagia karena benih yang mereka tanam akan tumbuh menjadi tanaman hijau dan segar, apa yang aku rasakan justru sebaliknya. Hujan akan merenggut semuanya. Hujan akan menjelma jadi banjir yang akan menyapu tanaman hijau di taman rumahku. Menyulapnya menjadi taman yang dipenuhi lumpur berwarna coklat. Itulah sebabnya aku menamai daerah ku sebagai bumi coklat. Bumi yang dipenuhi oleh lumpur mengering. Ketika banjir surut semua tanaman hijau pun ikut mengering lalu mati.

Hijau bukanlah mimpi.
Seiring matinya tanaman-tanaman yang ada di taman rumahku, aku pernah merasa semangat ku juga ikut mengering bersama dedaunan itu. Mimpiku mulai terseok, tersapu oleh gelombang rutinitas yang mengekangku. Sampai akhirnya aku merasa tertampar oleh 3 pertanyaan ini :
Kalau bukan DISINI, dimana lagi?
Kalau bukan KITA, siapa lagi?
Kalau bukan SEKARANG, kapan lagi?
Bukan tanpa alasan Tuhan menempatkan aku disini, melainkan untuk berbuat sesuatu.
Menghijaukan bumi haruslah dimulai dari satu titik yang pertama kali tertangkap oleh pandangan mata kita.
Menghijaukan bumi haruslah dimulai dengan menghijaukan pikiran kita. Menanamkan dalam jiwa kita bahwa bumi ada di tangan kita. Menunda melakukan perbaikan itu artinya kita membiarkan kerusakan terjadi lebih lama lagi. So, just do it now!

Saat ini, mungkin semuanya masih terdengar mimpi, tapi mimpi bukan berarti tak bisa diraih. Dan mimpiku adalah menghijaukan bumi coklat ini. Tulisan ini adalah langkah awal ku, meskipun dengan tertatih-tatih aku ingin mencoba bangkit dan berdiri untuk memberitahukan kepada semua orang bahwa ada bagian kecil bumi yang harus diperbaiki juga. Aku juga ingin menyegarkan mataku dengan pemandangan hijau, aku juga ingin menghirup udara segar. Tapi yang bisa aku lakukan dengan kedua tanganku ini adalah hanya menyemai benih setiap waktu, dengan satu harapan benih itu tumbuh menjadi tanaman hijau sebelum banjir datang dan menyulap lagi warnanya menjadi coklat.

Terkadang aku iri pada kawasan Dago dan sekitarnya. Semua tertata dengan rapih bahkan setiap hari Minggu dikukuhkan sebagai "Car Free Day". Sementara bumi coklat ku seakan terabaikan. Pengerukan Citarum yang dijanjikan pemerintah pun, status nya masih terdengar sebagai angin surgawi yang masih belum terealisasi. Bantuan yang sering kami terima pasca banjir adalah sembako dan beberapa pakaian bekas. Tidak ada yang mengirimi kami pupuk atau benih untuk menata lingkungan kami.